BERI.ID – Pemerintah Kota Samarinda menarik garis tegas dalam perubahan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, layanan kesehatan wajib dasar tidak boleh menjadi objek pungutan, terlebih pada situasi kegawatdaruratan medis.
Penegasan ini menjadi koreksi penting di tengah kekhawatiran publik bahwa logika fiskal mulai merambah wilayah hak asasi warga.
Kepala Dinas Kesehatan Samarinda, Ismid Kusasih, menyatakan bahwa regulasi retribusi tidak dirancang untuk menambah beban masyarakat, apalagi menjadikan layanan kesehatan sebagai komoditas penerimaan daerah.
Ia menyatakan, pembahasan retribusi harus ditempatkan dalam kerangka perlindungan hak dasar, bukan sekadar optimalisasi pendapatan.
Ismid memaparkan bahwa secara faktual, hampir seluruh penduduk Samarinda, sekitar 99 persen telah tercakup dalam skema BPJS Kesehatan.
Dengan kondisi tersebut, ruang layanan yang mungkin dikenakan retribusi sejatinya sangat sempit dan tidak bersentuhan dengan pelayanan inti.
“Yang diatur itu layanan di luar jaminan kesehatan nasional. Kalau sudah masuk pelayanan primer dan darurat, itu wilayah kewajiban negara. Tidak boleh ditarik ke ranah retribusi,” tegas Ismid usai rapat bersama DPRD Samarinda, Senin (15/12/2025).
Ia mengingatkan, kesalahan merumuskan regulasi bukan hanya berisiko menimbulkan kegaduhan publik, tetapi juga membuka peluang pelanggaran hak warga atas layanan kesehatan.
Karena itu, pemerintah daerah memilih pendekatan preventif, dengan menutup sejak awal kemungkinan tumpang tindih antara pembiayaan BPJS dan pungutan daerah.
Catatan DPRD Samarinda dalam pembahasan tersebut dinilai krusial.
Legislator meminta agar klausul pengecualian layanan kesehatan wajib ditulis secara eksplisit dan tidak multitafsir.
Menurut Ismid, pesan DPRD jelas: keadilan tidak berarti semua dipungut sama, melainkan memastikan kelompok paling rentan tidak menjadi korban kebijakan fiskal.
“Kesehatan itu urusan wajib pelayanan dasar. Tidak bisa diperdebatkan dengan logika untung-rugi. Maka meskipun seseorang tidak punya BPJS atau bukan warga Samarinda, selama itu kondisi wajib, negara harus hadir,” ujarnya.
Ismid menegaskan bahwa prinsip tersebut bukan sekadar norma tertulis, tetapi telah menjadi praktik di lapangan.
Dalam banyak kasus, Pemkot Samarinda justru menanggung beban layanan ketika pasien datang tanpa identitas atau jaminan kesehatan, khususnya pada kondisi darurat.
Program Doctor On Call, menjadi contoh konkret bagaimana kebijakan kesehatan dijalankan tanpa diskriminasi administratif.
Tenaga medis tetap dikerahkan selama pasien berada di wilayah Samarinda dan membutuhkan pertolongan segera, tanpa menunggu kejelasan status kependudukan.
“Kalau nyawa sudah jadi taruhannya, administrasi harus berhenti bicara,” kata Ismid.
Pendekatan serupa berlaku di rumah sakit milik pemerintah.
Selain BPJS, pemerintah kota menyediakan skema pembiayaan daerah untuk kasus-kasus tertentu, yang diperkuat oleh dukungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur melalui program Gratispol kesehatan.
Skema ini menjadi bantalan terakhir agar tidak ada warga yang terlempar dari sistem layanan hanya karena persoalan biaya.
Secara teknis, kebijakan retribusi hanya menyasar fasilitas kesehatan milik pemerintah kota, 26 puskesmas, satu laboratorium kesehatan daerah, dan satu rumah sakit pemerintah, dan itu pun terbatas pada layanan non-wajib.
Ismid menegaskan, tidak ada ruang kompromi untuk menarik retribusi pada layanan yang menyangkut keselamatan jiwa.
“Begitu menyentuh layanan wajib dan darurat, maka retribusi harus berhenti. Itu garis kerasnya,” tegasnya.
Ia menilai, ketegasan ini penting bukan hanya untuk meredam keresahan publik, tetapi juga sebagai pernyataan sikap bahwa pemerintah daerah menolak menukar hak kesehatan warga dengan target pendapatan.
“Fiskal penting, tapi nyawa jauh lebih penting. Kebijakan daerah tidak boleh kehilangan nurani,” pungkas Ismid. (lis)







