Tanggapan Dewan Soal Polemik Perubahan Warna Jembatan Kartanegara

SAMARINDA – Polemik soal pergantian warna Jembatan Kartanegara di Kota Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar) dari kuning ke merah, memantik respons Anggota DPRD Kaltim Elly Hartati Rasyid.

Anggota DPRD dari daerah pemilihan (Dapil) Kukar ini menceritakan sejarah pembangunan jembatan yang digagas dan dibangun di masa Bupati Kukar 1999-2008 Syaukani Hasan Rais pada 2003 silam.

Saat awal berdiri, tidak ada yang membahas soal warna. Meski saat itu warna jembatan memang kuning, dia yakin, bukan karena Syaukani sebagai politisi Partai Golkar. Pun bukan karena kuning dipilih sebagai warna adat khas suku Kutai.

Untuk mengklarifikasi klaim tersebut, Elly pun menyempatkan berdiskusi dengan sejumlah budayawan di Kukar. Hasilnya, pemerintah selama ini tidak pernah mengaitkan warna bangunan tertentu dengan arah politik.

Anggota komisi IV DPRD Kaltim yang salah satu bidangnya mengurusi tentang pariwisata dan kebudayaan itu mengambil contoh keberadaan Jembatan Ampera di Kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel).

Di kota empek-empek itu juga terdapat kerajaan melayu yang identik dengan warna kuning.

“Tapi jembatannya tetap warna merah-putih,” katanya.

Menurut Elly, tidak ada kaitannya infrastruktur yang dibangun pemerintah dengan mengarahkan ke warna kebesaran budaya tertentu.

Lain halnya kata dia, jika ritual budaya adat yang diubah. Contohnya, di salah satu daerah yang memiliki ritual hari-hari tertentu yang semua orang diwajibkan menggunakan warna kuning, lalu diubah harus menggunakan warna merah.

“Nah, itu baru salah besar,” singkatnya.

Meski begitu, Elly tetap menghargai setiap aspirasi yang disampaikan masyarakat terkait pergantian warna Jembatan Kartanegara itu.

Dia tidak memungkiri beberapa warga yang menolak perubahan warna itu juga konstituennya di dapil Kukar. Menurutnya, penyampaian aspirasi itu harus dipahami sebagai bagian kecintaan masyarakat Kutai terhadap adat dan budayanya.

Karena itu, di bagian lain Elly berharap agar pemerintah daerah tetap menjaga kelesetarian adat budaya tersebut sebagai bagian dari keragaman di Indonesia.

Namun Elly mengingatkan agar warga Kukar tidak lupa bahwa kita bagian dari warga negara yang dikontrol oleh aturan dan undang-undang.

Dalam Perda Kukar Nomor 2 tahun 2016 tentang Pelestarian Kebudayaan Kesultanan, tidak ada menyebutkan soal warna khusus untuk infrastruktur umum.

Karena itu, Elly berharap masyarakat tidak berburuk sangka dengan pemerintah jika kebijakan perubahan warna ini dipengaruhi sikap politik. Menurutnya, budaya Kutai adalah kebanggaan.

“Jangan dibolak-balik. Ada banyak hal penting yang masih layak dikritik. Misalanya soal kesejahteraan rakyat di pedalaman, di pesisir dan lainnya. Kedua soal bagaimana aparatur negara bekerja optimal untuk rakyat,” ujarnya mengingatkan.

(Fran)

kpukukarads