Motor Dilarang, Bus Belum Datang: Ini Suara dari Pihak Siswa dan Kepsek di Samarinda

Kepala SMA Negeri 16 Samarinda, Abdul Rozak Fahrudin, yang juga sebagai Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA/SMK Kota Samarinda. (Foto: Lisa/beri.id)

BERI.ID – Gagasan menghadirkan bus gratis bagi pelajar di Samarinda di atas kertas terdengar ideal, membantu siswa berangkat sekolah tanpa biaya, menekan angka kecelakaan pelajar, dan mengurangi kemacetan.

Namun di lapangan, ide tersebut menyimpan banyak jebakan teknis dan sosial yang tak bisa diabaikan, seperti disampaikan pelajar SMA Negeri di Kota Tepian yang menggambarkan dua sisi realitas itu dengan jujur.

Seorang siswi kelas XI menilai kebijakan bus gratis akan menghadapi tantangan serius jika diterapkan tanpa perencanaan matang.

“Idenya bagus, tapi kalau betul-betul gratis, pasti ada banyak kendala. Busnya terbatas, rutenya bisa tidak efisien, dan kalau macet, bisa makin terlambat semua,” ujar Dinda (Nama samaran, narasumber tidak berkenan disebutkan namanya), Sabtu (4/10/2025).

Rute dan jalur perjalanan, lanjutnya, perlu direncanakan dengan matang agar tidak melewati kawasan rawan macet, karena hal itu justru bisa membuat siswa terlambat ke sekolah.

“Harus ada jalurnya, rawan terjebak macet,” ujarnya.

Ia juga meragukan kesanggupan pemerintah untuk terus menanggung biaya operasional jangka panjang.

“Kadang program awalnya semangat, tapi lama-lama bisa hilang karena biaya tinggi,” tambahnya.

Sementara rekannya dari kelas XII melihat sisi berbeda. Ia menilai program ini justru bisa menjadi penyelamat bagi banyak siswa.

“Kalau benar diterapkan, bus gratis akan sangat membantu anak-anak yang orang tuanya sibuk atau tidak punya kendaraan. Selain hemat, juga lebih aman, karena banyak siswa yang belum cukup umur tapi tetap naik motor ke sekolah,” katanya.

Pendapat lain disampaikan oleh seorang siswa SMA Negeri 1 Samarinda. Ia menilai, penerapan bus gratis untuk pelajar akan menghadapi kendala teknis di lapangan.

Ditegaskannya, sistem penjemputan dan pemberhentian bus berpotensi membingungkan.

“Tidak mungkin kami diturunkan di depan jalan dan harus berjalan kaki cukup jauh untuk masuk ke sekolah,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia juga menyoroti keterbatasan armada.

“Perlu sangat banyak bus, sementara jumlah siswa di SMA Negeri 1 saja sudah ribuan, tentu tidak akan cukup untuk menampung semua,” tambahnya.

Kepala SMA Negeri 16 Samarinda, Abdul Rozak Fahrudin, yang juga sebagai Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA/SMK Kota Samarinda, mengaku mendukung ide bus pelajar secara prinsip, namun menekankan perlunya kesiapan teknis dan keberlanjutan.

“Secara prinsip saya setuju. Ini bisa mengurangi kemacetan dan menekan angka kecelakaan pelajar. Tapi penerapan di lapangan harus betul-betul dipikirkan matang, terutama soal titik jemput, waktu keberangkatan, dan efisiensi rute,” paparnya.

Rozak menjelaskan, sistem transportasi pelajar akan rumit jika tidak ada pengaturan yang tepat.

Dengan banyaknya sekolah dan jarak antarwilayah yang berjauhan, waktu tempuh bisa menjadi masalah besar.

“Kalau bus berhenti di setiap jalan untuk menjemput siswa, bisa-bisa anak-anak harus berangkat subuh agar sampai tepat waktu. Sementara kalau terlalu sedikit titik jemput, anak-anak yang rumahnya jauh tetap kesulitan menjangkaunya,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan agar kebijakan ini tidak berhenti pada wacana tanpa solusi realistis.

“Kalau pemerintah melarang siswa membawa motor, titiknya jangan berhenti di larangan. Harus ada koma: pemerintah menjamin transportasinya. Itu baru adil,” tegasnya.

Larangan siswa membawa kendaraan bermotor sebenarnya sudah lama diatur. Namun di banyak sekolah, termasuk di SMA 16 Samarinda, penerapannya menghadapi dilema sosial.

Banyak siswa tinggal jauh dari jalan utama dan tidak memiliki sarana transportasi alternatif.

“Kalau saya larang semua anak bawa motor, sementara tidak ada bus sekolah, siapa yang antar mereka? Tidak semua orang tua bisa antar karena harus bekerja. Ada juga yang tidak mampu bayar ojek,” kata Rozak.

Untuk menghindari dampak sosial, pihak sekolah akhirnya mengambil langkah kompromi.

“Kami minta orang tua membuat surat resmi permohonan kalau anaknya harus membawa kendaraan dengan alasan tertentu. Jadi tanggung jawabnya jelas,” ujarnya.

Rozak juga menolak ide agar siswa parkir di rumah warga. Menurutnya, hal itu justru menciptakan masalah baru.

“Parkir di luar sekolah malah menambah biaya dan bisa ganggu warga. Kalau pemerintah mau larang siswa bawa motor, maka fasilitas transportasinya harus tersedia dan gratis. Kalau tidak, aturan hanya menambah beban,” tegasnya.

Masalah utama bukan semata soal gratis atau tidak, melainkan soal efektivitas dan keadilan. Dengan jumlah siswa ribuan dan sekolah tersebar di berbagai kecamatan, sistem transportasi pelajar harus dirancang dengan data spasial yang akurat dan simulasi waktu tempuh yang realistis.

“Kalau satu bus melayani beberapa sekolah, siapa yang dijemput dulu? Kalau sekolah pertama nyaman, yang terakhir bisa terlambat. Ini persoalan teknis, tapi bisa berdampak langsung pada disiplin siswa,” kata Rozak.

Bagi banyak pihak, bus pelajar tetap penting sebagai langkah awal membangun sistem transportasi publik yang ramah pendidikan. Namun, tanpa perhitungan yang cermat dan kebijakan lintas sektor, program ini bisa kehilangan arah.

“Semua kebijakan harus menyelesaikan masalah, bukan menambah masalah. Kalau siswa dilarang bawa motor, maka tanggung jawab pemerintah adalah memastikan mereka tetap bisa sekolah tanpa kesulitan,” tutupnya. (lis)