SAMARINDA – Jalan nya proses pemilu di tingkat pemilihan kepala daerah memungkinkan berpotensi konflik baik pra atau pasca pemilihan. Pertentangan yang muncul bukan di awali karena adanya pemilihan pemimpin saja, tapi secara struktur sosial masyarakat modern yang berkembang pertentangan merupakan bagian peradaban.
Stephen k. Sanderson, di buku berjudul Makrososiologi terjemahan 2011 (1993:12) menyebutkan beberapa strategi konflik modern, yang pertama sebagai kehidupan sosial pada dasarnya merupakan arena konflik atau pertentangan diantara dan didalam kelompok-kelompok yang bertentangan.
Kedua, sumber-sumber daya ekonomi dan kekuasaan-kekuasaan politik merupakan hal penting, sehingga berbagai kelompok berusaha merebutnya. Kemudian ketiga, akibat tipikal dari pertentangan ini adalah pembagian masyarakat menjadi kelompok yang determinan secara ekonomi dan kelompok yang tersubordinasi.
Keempat, Pola-pola sosial dasar suatu masyarakat sangat ditentukan oleh pengaruh sosial dari kelompok yang secara ekonomi merupakan kelompok yang determinan. Kelima, konflik dan pertentangan sosial didalam dan diantara berbagai masyarakat melahirkan kekuatan-kekuatan yang menggerakan perubahan sosial.
Lalu yang terakhir menurut Sanderson, Karena konflik dan pertentangan merupakan ciri dasar kehidupan sosial, maka perubahan sosial menjadi hal yang umum dan sering terjadi.
Indonesia, daerah yang akan mengikuti pilkada serentak tersebut terdiri 17 Provinsi, 39 Kota, dan 115 Kabupaten, dengan total 171 daerah. Melalui Bawaslu (11/12), dikutip dari kolom tulis (detikcom) meluncurkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang disusun dari tiga aspek utama yaitu penyelenggaraan, kontestasi, dan partisipasi. Dari tiga aspek tersebut diturunkan menjadi 10 variabel dan 30 indikator sebagai alat ukur kerawanan. Indeks kerawanan yang dikeluarkan terdiri dari indeks rendah antara 0-1,99, indeks sedang 2,00-2,99, dan indeks tinggi 3,00-5.00.
Tak hanya pada kontruksi sosial potensi konflik berpeluang. Pelaksanaan teknisnya sendiri pun, dapat menimbulkan sembilan potensi konflik di Pilkada serentak 27 Juni 2018. Menurut Muhammad Lukman Edy (8/11), mantan wakil ketua komisi II DPR RI, di kutip dari (CNNIndonesia). Ia menyebutkan unsur pertama yang bisa menyebabkan konflik adalah sosialisasi Undang-undang Pilkada, Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Peraturan KPU. Banyak penyelenggara dan pengawas pemilu di daerah yang kurang memahami isi UU Pilkada, Perbawaslu, maupun PKPU menurut Edy.
Kedua, lanjutnya, konflik dapat muncul akibat ulah Petahana yang hendak kembali mencalonkan diri (ada batasan dalam pasal 71 UU Pilkada), bahkan berpotensi membangun dinasti (anak, kerabat dll).
Faktor ketiga penyebab konflik adalah keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pilkada, kecenderungan ASN tidak netral besar.
Lalu, faktor keempat adalah keterlibatan TNI dan Polri. Dalam proses demokrasi, TNI dan Polri sebagai alat pertahanan dan penegak hukum seharusnya netral dan tidak memihak.
Kelima, konflik akibat politik uang juga ancaman yang mungkin terjadi. Lalu faktor penyebab konflik keenam adalah salah hitung dan rekapitulasi hasil pemungutan suara.
Faktor selanjutnya adalah konflik akibat adanya oknum KPU atau Bawaslu yang berpihak pada calon kepala daerah.
“Selanjutnya konflik akibat kampanye, baik bully dan black campaign” Ujar Edy.
Terakhir, konflik mungkin terjadi jika ada konflik antara parpol dan kandidat. Kemungkinan ini besar terjadi apabila ada calon kepala daerah kuat dari jalur perseorangan di suatu daerah.
Pemilihan calon Gubernur Kaltim sendiri kecenderungan potensi konflik nya ada di tingkatan elit politik, perebutan suara partai dan calon legislatif ikut terkondisikan di jalannya pemilihan Gubernur. Potensi terjadi di masyarakat nya sendiri cenderung kecil karena di nilai moderat.
Pernyataan itu pun di seirama dengan pandangan akademisi asal Universitas Mulawarman. Bergelar doktor, Enos Paselle ketua program studi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, berpendapat
“Setiap daerah punya potensi konflik pra atau pasca pemilu, di Kaltim masyarakat masih sedikit moderat cukup banyak pengalaman hidup berdampingan antar kelompok sosial,” Sebut Enos.
Potensi itu justru terlihat di tingkatan elit menurut nya. Mestinya elit bercermin ke masyarakat yang tingkat tolerasinya cukup tinggi. “Tapi jangan salah kita mesti menjaga suasana harmoni, yang selama ini terjadi dalam konteks pemilu,”ujar nya.
Sebagai akademisi diri nya berharap pemilu kali ini benar-benar memilih pemimpin yang cerdas. Serta membawa perubahan dengan melibatkan semua kelompok masyarakat, tanpa satu pun yang tertinggal.
Gunakan hak pilih, benar-benar mesti di pahami oleh masyarakat secara sadar, dengan upaya maksimal penyelenggaran mensosialisasikan dan memberikan pendidikan politik. Minim partisipasi bukan berarti minim konflik, melainkan akan berpotensi mandeg nya pembangunan.
“Ini konsekunesi nya, legitimasi lima tahun kedepan kepemimpinan menjadi sangat rendah, program-program pasti agak sukar di realisasikan, pembangunan terhambat tanpa dukungan masyarakat, kita semua harus mendukung pemilihan Gubernur ini dengan masif dan melibatkan masyarakat untuk sadar menggunakan hak pilih,”pungkas Enos.
Dia juga menegaskan salah satu cara meminimalisir konflik, para paslon mesti meyakinkan calon pemilih dengan nalar yang rasional atau berdasarkan fakta. “Semua ingin membangun kaltim, pertanyaan nya sekarang adalah mereka harus meyakinkan publik di Kaltim, kandidat mesti berbicara berdasarkan realitas dan berdasarkan data, tidak boleh berbicara asumsi ke publik, ini justru akan merapuhkan calon pemilih,”tegas nya.
Ruang-ruang publik seperti debat kandidat pun mesti di pahami adalah bagian untuk meyakinkan pemilih. “Rasional salah satu ukuran objektif untuk memperkecil konflik, jangan di penuhi asumsi ketika berhadapan dengan publik, tapi yakinkan calon pemilih anda,” ucap Enos Paselle.
Mantan aktivis Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) cabang Makasar ini juga, mengingatkan untuk para kandidat agar berhati-hati dalam berkomunikasi dan menyampaikan informasi ke publik. Dia menilai dua kali proses debat yang dilaksanakan di penuhi asumsi.
“Persoalan memimpin bangsa atau memimpin suatu daerah itu tidak berdasarkan asumsi, akan tetapi di bangun atas fakta yang di hasilkan data melalui pendekatan ilmiah,” pungkas Enos.
Ketua Prodi Administrasi Negara ini juga menyebutkan, isu strategis pembangunan mesti di korelasikan secara terukur. Misal bonus demografi yang menjadi siklus nasional, mesti terkait dalam pengelolaan sumber devisa dan perkembangan industri 4.0 yang berbasis digital.
“Pemimpin yang cerdas saat ini, mampu membangun keterhubungan tata kelola sumber devisa seperti dana bagi hasil kelola blok sumber daya alam, dengan lonjakan tenaga produktif serta industri kreatif yang berbasis digital,” Jelas Enos.
Lanjut nya, pemimpin yang cerdas adalah pemimpin yang bisa menyatukan dua hal ini, jadi tidak bisa mengatakan bahwa perjuangan dana bagi hasil itu lebih penting dari industri kreatif sebagai alternatif pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.” Tutup Enos Paselle. (Red)