SAMARINDA – Tata kelola pertambangan batubara selalu jadi topik menarik untuk dibicarakan, apalagi Kalimantan Timur sebagai daerah penghasil lumbung energy. Sejauh ini batubara menjadi komoditas dagang primadona penghasil devisa pemerintah daerah.
Pada dasar berpikir komoditas dagang ini lah, pengelolaan pertambangan batubara di Kaltim tidak berkontribusi banyak dalam mewujudkan kesejahteraan dan pembangunan Kalimantan Timur sendiri, meskipun sudah ada regulasi yang mengatur kontribusi industry ini untuk pembangunan.
Dalam acara pelatikan pengurus Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) Kalimatan Timur, Sabtu (6/10). Tino Ardhyanto A.R, Ketua Umum PERHAPI menyampaikan kritik nya terhadap cara berpikir pemerintah terkait pengelolaan pertambangan.
“Komoditas tambang selalu dijadikan komoditas perdagangan, sehingga kontribusi nya terhadap pembangunan menjadi susah diukur, kita perlu sedikit mengubah pola piker tersebut, mestinya pertambangan batubara menjadi komoditas modal pembangunan,” pungkas Tino.
Lanjutanya, kedepan pembangunan Indonesia akan semakin banyak membutuhkan energy di hamper semua pengelolaan industrinya. Apalagi Kalimantan Timur yang kedepan akan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
“Kedepan Kaltim akan butuh hasil energi, kalau hanya kita tempatkan dia sebagai komoditas dagang, ya jadinya seperti yang kita lihat sekarang ini, semua hanya habis dijual, tapi bagaimana dengan kebutuhan kita sendiri didalam.” Tegas ketua umum Perhapi.
Diketahui PERHAPI merupakan organisasi berhimpunnya para ahli pertambangan di Indonesia, baik akademisi maupun praktisi yang tersebar di berbagai instansi pemerintah, instansi pendidikan dan dunia usaha. Organisasi profesi ini dibentuk dengan memanfaatkan semaksimal mungkin kemampuan-kemampuan individu para ahli pertambangan, baik berupa sumbangan pemikiran maupun partisipasi aktif dalam pengembangan industri pertambangan.
Dalam gelaran acara, Andi Harun politisi yang menyandang gelar sarjana hukum ini, di percaya sekaligus dilantik sebagai Ketua PERHAPI Kalimantan Timur. Dalam kesempatan ini, Iya menyampaikan pandangannya terkait Domestic Market Obligation (DMO).
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (“ESDM”) pada awal Januari 2018 telah mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM No.23 K/30/MEM/2018 tentang Penetapan Presentase Minimal Penjualan Batubara Untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun 2018, dimana diputuskan bahwa setiap pemegang Ijin Usaha Penambangan (IUP) Batubara tahap operasi produksi dan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) wajib menjual 25% produksi batubara nya untuk kepentingan dalam negeri. Kemudian disusul lagi dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri ESDM No. 1395 K/30/MEM/2018 pada awal Maret 2018 tentang Harga Jual Batubara Untuk Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum, dimana Pemerintah telah menetapkan harga penjualan batubara dalam negeri untuk penyediaan tenaga listrik sebesar US$ 70 per ton (harga FOB vessel untuk batubara acuan dengan spesifikasi CV 6,322 kcal/kg GAR).
Menurut Andi Harun ada hal menarik dalam fakta jalannya aturan tersebut, para pelaku usaha tambang cenderung tidak serius terhadap DMO. “Mengapa industry tambang kurang serius terhadap ‘DMO’, ini karena persoalan harga ekpor dengan dalam negeri terjadi margin yang membuat pelaku industry belum terlalu iklas, bersandar pada pola objek dagang itu persoalannya. Tambang harus merubah haluan kelola komoditas menjadi modal pembangunan, sehingga ada senergi yang kuat antar pelaku usaha dengan pemerintah.” Jelas Andi Harun yang juga ketua partai Gerinda Kaltim.
Lanjutnya, Kalau ditarik sebagai modal pembangunan, daerah-daerah dengan prinsip otonomi bisa memiliki kebijakannya sendiri soal energy, missal soal kebutuhan listrik.
“Kita punya BUMND, jika ditarik dari RPJMD kebutuhan energy kelistrikan bisa diarahkan fokus pada pembangunan PLTU,” ucap Andi Harun.
Kaltim merupakan daerah yang sumber devisa / PDRB nya bertopang pada industry pertambangan. Namun fluktuasi harga batubara masih menjadi beban pelaku usaha tambang untuk berkontribusi dalam pembangunan. Hadir nya PERHAPI Kaltim diharap menjadi jembatan akan semua kepentingan steakholder, termasuk bagaimana harga batubara bisa stabil, shingga pelaku usaha tambang bisa mengalokasikan jumlah produksinya untuk pembangunan Kaltim.
“Soal regulasi berdasar pada UU, maka Perda bisa sebagai alat hukum mengatur soal harga, dan bersama pemerintah, Perhapi bisa menegaskan konsep Good Mining Praktis didalamnya.” Pungkas Andi Harun.
Kehadiran PERHAPI sekaligus mempermudah peningkatan professional dan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam industry tambang, yang sebelumnya mesti dilakukan di Ibukota Jakarta, sekarang bisa di lakukan di Kaltim melalui PERHAPI.
Andi Harun berharap hadirnya PERHAPI dapat menjadi bagian terdepan dalam kontribusi industry tambang untuk pembangunan Kaltim, dan berharap dapat menjadi mitra sejajar untuk memastikan dilaksanakan nya kaidah Good Mining Praktis, seperti aspek lingkungan, aspek sosiologi dan keselamatan kerja. (Red)