Akademisi Nilai Aksi Demonstrasi di DPRD Kaltim Wajar: “Rumah Rakyat, Kok Ditutup Rapat?”

Akademikus Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, saat berorasi di depan massa aksi. (Foto: Lisa/beri.id)

BERI.ID – Akademikus Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai gelombang unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat di Samarinda, yang berlangsung seiring aksi di berbagai daerah jadi ekspresi publik yang wajar dan sah dalam negara demokrasi.

Ditekankannya, aksi massa di depan kantor DPRD bukan sekadar gejala spontan, melainkan akumulasi kekecewaan terhadap banyak hal, mulai dari DPR pusat, DPRD daerah, hingga Presiden.

“Ini ekspresi publik. Mereka datang ke rumah wakil rakyat untuk mempertanyakan kerja wakilnya. Tapi rumah rakyat justru ditutup rapat dan dijaga ketat polisi. Itu paradoks,” tegasnya, ketika ditemui di depan Gedung DPRD Kaltim, usai berorasi, Senin (1/9/2025).

Herdiansyah menegaskan, anggota dewan semestinya tidak bersembunyi di balik barikade aparat.

Untuk itu langkah Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, yang sempat keluar menemui massa, merupakan hal yang wajar.

“Sebagai wakil, dia wajib menjelaskan kepada rakyat. Wakil rakyat itu pelayan, bukan tuan,” ujarnya.

Herdiansyah kemudian menilai tuntutan massa berakar pada kesenjangan sosial-ekonomi yang kian mencolok.

Gaji dan fasilitas anggota DPR, yang berkali lipat dibanding pendapatan masyarakat, menjadi simbol jarak antara wakil dan yang diwakili.

“Ini bukan sekadar soal angka gaji, tapi soal arogansi politik,” ujarnya.

Ia menyebut ketidakpuasan publik tak hanya menyasar DPR, tetapi juga Presiden, terutama terkait kebijakan pembangunan yang kerap mengorbankan masyarakat adat dan pemilik lahan.

“Proyek strategis nasional sering dijalankan atas nama investasi, tapi rakyat yang terdampak justru dipinggirkan,” kata Herdiansyah.

Merespons kerusuhan dan penjarahan di beberapa daerah, Herdiansyah mengingatkan perlunya kepemimpinan gerakan yang solid.

Ia menegaskan, aksi massa harus terorganisir agar tidak disusupi pihak luar.

“Kalau kita belajar dari ’98, kekacauan terjadi karena tidak ada kepemimpinan. Gerakan harus terarah untuk menghindari kerusuhan,” jelasnya.

Pria yang memiliki nama pena Castro itu meminta publik bersikap kritis terhadap framing yang selalu menyalahkan demonstran.

“Jangan semua penjarahan langsung dituding ke massa aksi. Bisa jadi ada pihak luar yang memprovokasi atau bahkan mendesain kekacauan,” terangnya.

Sementara itu, terkait kekerasan aparat terhadap Affan di Jakarta yang menambah bara kemarahan publik, ia menilai ini bukan sekadar persoalan individu, melainkan bukti watak koersif atau sifat memaksa dari negara.

“Satu dilukai, semua harus merasa tersakiti. Apa yang dialami Affan bukan cuma masalah orang Jakarta, tapi masalah semua warga negara,” tutupnya. (lis)