BERI.ID – Gelombang penolakan terhadap pemotongan Dana Bagi Hasil (DBH) Kalimantan Timur yang mencapai 77 persen kembali menguat.
Ketua Umum Laskar Pemuda Adat Dayak Kalimantan Timur (LPADKT), Vendy Meru, menegaskan bahwa pihaknya akan melanjutkan gerakan rakyat untuk menuntut pemerintah pusat segera membatalkan kebijakan yang dianggap merugikan daerah penghasil tersebut.
Tenggat waktu yang diberikan kepada pemerintah pusat untuk menanggapi tuntutan masyarakat Kalimantan Timur terkait pemotongan Dana Bagi Hasil (DBH) telah berakhir tanpa hasil.
Ssejak aksi besar pada 16 Oktober lalu, pihaknya telah memberi waktu empat belas hari kepada pemerintah pusat untuk merespons aspirasi mereka, namun hingga kini belum ada tanggapan resmi.
“Kami akan lanjutkan gerakan berikutnya untuk memberikan warning kepada pusat,” tegas Vendy Meru, di Aula Dispora Kaltim, Sabtu (1/11/2025).
Lanjutnya, aksi lanjutan tersebut akan dilakukan awal pekan depan dengan membangun tenda perjuangan di depan kantor Gubernur Kaltim sebagai simbol komitmen masyarakat.
Tenda itu akan menjadi ruang terbuka bagi publik untuk menyampaikan pandangan dan mendiskusikan dampak pemangkasan DBH terhadap ekonomi daerah serta keberlanjutan pembangunan di kabupaten/kota.
“Ini gerakan rakyat, bukan gerakan partai atau ormas tertentu. Semua yang hidup dan mencari nafkah di Bumi Etam punya tanggung jawab moral untuk bersuara. Kami minta semua identitas politik, suku, dan agama ditanggalkan. Ini soal harga diri daerah,” seru Vendy.
Ia juga menegaskan, jika pemerintah pusat tetap mengabaikan tuntutan mereka, maka aksi perlawanan akan ditingkatkan, termasuk opsi penyetopan jalur Sungai Mahakam sebagai bentuk protes.
“Kami sudah sampaikan simbol perlawanan kami lewat air, tanah, dan batubara yang kami serahkan ke Gubernur. Kalau pusat tetap tuli, ya konsekuensinya kami akan hentikan aktivitas di jalur Sungai Mahakam yang dilalui ponton-ponton batubara,” tandasnya.
Nada perlawanan senada disampaikan Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo, yang menyebut kebijakan fiskal pemerintah pusat sebagai bentuk perampasan hak rakyat daerah.
Ia menilai, rakyat Kalimantan, khususnya masyarakat Dayak, telah lama menjadi korban sistem ekonomi yang menempatkan daerah kaya sumber daya alam hanya sebagai penyumbang, bukan penerima keadilan.
“Orang datang dengan senyum dan kelembutan, tapi sesungguhnya merampas tanahmu, sumber hidupmu, bahkan makanan di mulutmu. Kalau ini terus dibiarkan, anak-anak Dayak hanya akan jadi kuli di tanahnya sendiri,” tegas Buyung.
Ia menuding, pusat selama ini menutup rapat data publik terkait hasil tambang dan DBH, sehingga rakyat tidak tahu berapa sebenarnya kontribusi Kaltim terhadap APBN dan berapa yang kembali ke daerah.
“Bayangkan, SDA kita menyumbang hampir Rp600 triliun per tahun, tapi yang kembali ke Kaltim tidak sampai 10 persen. Ini bukan sekadar ketimpangan fiskal, ini penindasan ekonomi,” tegasnya.
Buyung juga menyoroti lemahnya integritas pejabat daerah yang menurutnya turut berkontribusi pada kerusakan tata kelola.
“Kita menolak pemotongan DBH, tapi jangan lupa: 60 persen APBD kita habis untuk belanja pegawai. Sementara rakyat di pedalaman hidup susah, jalan rusak, dan lingkungan rusak parah,” ujarnya.
Ia mengungkap data bahwa dari APBD Kaltim Rp13 triliun, hanya 0,03 persen, yang dialokasikan untuk pemulihan lingkungan hidup.
“Pemerintah kita bukan hanya gagal mengelola, tapi juga berkomplot dengan sistem yang korup. Hutan dijual, tanah rusak, sungai tercemar, dan rakyat hanya dapat debu,” sindirnya tajam.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Kaltim, Prio Fuji Mustopan turut menegaskan bahwa pemangkasan DBH bukan hanya soal angka, tetapi soal keberlangsungan hidup masyarakat dan fungsi kontrol demokrasi.
“Setoran Kaltim ke pusat besar sekali, tapi yang kembali sangat kecil. Ironisnya, uang yang sedikit itu pun tidak dikelola dengan baik di daerah. Ini bukan hanya merusak ekonomi rakyat, tapi juga memukul industri media yang hidup dari denyut ekonomi lokal,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pelemahan ekonomi daerah tidak hanya berdampak pada masyarakat, tetapi juga langsung menghantam keberlangsungan industri media, mengingat media merupakan salah satu sektor pertama yang merasakan imbas ketika aktivitas ekonomi melambat.
“Jika industri media mati, maka kebenaran pun ikut mati. Suara rakyat Kaltim tidak akan lagi terdengar,” ujarnya.
Karena itu, ia menilai perjuangan menolak pemangkasan DBH harus disertai dengan pengawasan yang ketat terhadap pengelolaan dana publik di tingkat daerah.
Jurnalis senior itu juga mengingatkan agar perjuangan ini tidak hanya diarahkan kepada pemerintah pusat semata.
“Kita memang harus menekan pusat, tapi juga harus jujur bahwa daerah pun banyak salah urus. Jadi, perjuangan ini bukan hanya melawan pusat, tapi juga membersihkan dapur kita sendiri,” pungkasnya. (lis)







