BERI.ID – Kepala Kepolisian Resor Kota (Kapolresta) Samarinda, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Hendri Umar menyatakan tewasnya dua balita di tangan W (24), ayah kandung mereka sendiri di Kecamatan Sungai Kunjang, Samarinda, disebabkan oleh tekanan ekonomi menumpuk, ditambah konflik rumah tangga dengan istrinya yang kerap mendesak cerai.
Kondisi inilah yang diduga kuat mendorongnya melakukan aksi keji itu. Terlebih, pelaku diketahui sudah lama menganggur setelah berhenti bekerja sebagai helper akibat sakit lambung dan tenggorokan.
“Pelaku sering terlibat cekcok dengan istrinya. Saat istrinya berangkat kerja sore itu, pelaku mulai merencanakan aksinya,” ungkap Hendri Umar, dalam konferensi pers, di Polsek Sungai Kunjang, Selasa (29/7/2025).
Keterangan keluarga mengungkap perubahan perilaku W dalam dua bulan terakhir, yakni menjadi lebih pendiam dan menarik diri dari lingkungan. Polisi kini memeriksanya ke rumah sakit jiwa untuk observasi.
Sementara itu, Kapolsek Sungai Kunjang, AKP Yohanes Bonar Adiguna, menyebut hasil autopsi mengindikasikan kedua korban meninggal karena kekurangan oksigen, kemungkinan dibekap.
“Tidak ada tanda cekikan di leher. Dugaan kuat korban mati lemas,” tegasnya.
Isu simpang siur yang menyebut pelaku mengonsumsi narkotika juga tidak benar adanya.
“Hasilnya negatif,” tambahnya.
Sekretaris DP2PA Samarinda, Deasy Evriyani, menilai kasus ini sebagai bukti nyata bahwa perlindungan anak masih rentan ketika faktor ekonomi, mental, dan konflik keluarga bercampur menjadi tekanan berat.
“Perlindungan anak masih menjadi PR besar kami. Tekanan ekonomi dan rendahnya kesadaran kesehatan mental sering menjadi pemicu utama kekerasan,” jelas Deasy.
DP2PA kini mendampingi istri dan keluarga korban yang masih terpukul. Deasy menegaskan layanan konseling, bantuan psikolog, hingga advokasi hukum tersedia gratis, bahkan melalui relawan di tingkat RT dan kelurahan.
“Kami selalu terbuka. Jangan tunggu kasus viral dulu baru lapor. Sampai Juli 2025 sudah ada 180 kasus, dan 80–100 di antaranya kami dampingi intensif,” tegasnya.
Tragedi ini juga menyingkap tantangan Samarinda dalam mewujudkan Kota Layak Anak (KLA).
Hingga kini, belum ada satupun kabupaten/kota di Kaltim yang berhasil meraih predikat tersebut.
“Kasus ini membuktikan pekerjaan rumah kita masih sangat besar,” ujar Deasy.
Pantauan di lokasi, rumah bercat ungu berpagar hijau itu kini lengang, dibatasi garis polisi.
Gang yang biasanya ramai dengan tawa anak-anak itu kini sunyi.
“Mereka selalu main di sini, ceria sekali. Sekarang sepi, kami masih tidak percaya,” tutur Aini (samaran), warga yang tidak ingin identitasnya diungkap.
Kematian dua bocah ini bukan hanya meninggalkan duka, tapi juga tamparan keras bagi semua pihak. Tanpa deteksi dini masalah kesehatan mental dan konflik keluarga, tragedi serupa bisa kembali terjadi. (lis)