BERI.ID – Soal beras oplosan yang sempat memantik keresahan publik di Kalimantan Timur, faktanya bukan seperti yang diketahui publik, yakni pencampuran lintas jenis beras, melainkan manipulasi kualitas yang berujung pada potensi kerugian konsumen.
Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (DPPKUKM) Kaltim, Ali Wardani, mengatakan hal tersebut dan menjelaskan bahwa istilah “oplosan” kerap disalahpahami.
Berdasarkan hasil pengawasan tim, kasus yang mencuat lebih tepat disebut sebagai pencampuran kualitas dalam satu jenis beras yang sama.
Praktik semacam ini dinilai berbahaya bukan hanya dari sisi etik perdagangan, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap sistem distribusi pangan.
Konsumen membayar harga tinggi, namun mutu yang diterima tidak sesuai klaim pada kemasan.
“Berasnya itu satu jenis, warnanya sama, varietasnya juga sama. Yang jadi masalah adalah kualitasnya. Beras premium dicampur dengan beras medium, tapi dijual dengan label dan harga premium,” jelas Ali, Jumat (12/12/2025).
Saat ini, pelaku usaha yang terindikasi melakukan pelabelan tidak sesuai dipanggil dan diberikan pembinaan secara langsung.
“Kami lakukan edukasi dan pendampingan. Prinsipnya sederhana, kalau isinya medium, ya harus dilabeli medium. Tidak boleh medium ditulis premium. Yang sudah melanggar, setahu saya sudah mendapat peringatan resmi,” tegasnya.
Tak hanya soal kualitas dan label, pemerintah juga menemukan sejumlah pelaku usaha yang belum mengantongi izin usaha lengkap.
Terhadap mereka, pendekatan persuasif ditempuh dengan mengarahkan pengurusan perizinan sesuai ketentuan.
“Alhamdulillah, progresnya cukup baik. Mereka yang sebelumnya belum berizin sudah mulai menindaklanjuti, mengurus legalitas, dan menyesuaikan praktik usahanya,” tambah Ali.
Ia memastikan, beras-beras yang sebelumnya terindikasi bermasalah kini telah disesuaikan dengan standar awal sesuai arahan tim pengawas.
Penertiban dilakukan tanpa menimbulkan gejolak distribusi di pasar.
Sementara terkait isu boikot atau penahanan distribusi oleh pihak distributor beras premium, Ali menegaskan hal tersebut tidak terjadi.
Pemerintah justru memilih jalur komunikasi intensif dengan seluruh mata rantai pasok, dari produsen hingga distributor.
“Kami duduk bersama, menyampaikan aturan mainnya. Mereka paham. Kewajiban produsen apa, kewajiban distributor apa, semuanya dikoneksikan. Produksi dan distribusi tetap berjalan,” ujarnya.
Di luar isu beras, pemerintah juga mencermati dinamika harga bahan pokok lain menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) dan pergantian tahun.
Ali menyebut, kenaikan harga bawang merah dan cabai memang sempat terjadi, namun masih dalam batas kewajaran.
“Kenaikan itu lebih dipicu peningkatan permintaan menjelang Natal dan Tahun Baru. Tapi skalanya tidak sebesar lonjakan saat Lebaran. Masih relatif terkendali,” jelasnya.
Untuk menjaga stabilitas, DPPKUKM Kaltim menekankan bahwa strategi pemerintah bukan semata pengawasan, melainkan langkah antisipatif.
Salah satu instrumen utama yang terus digencarkan adalah pangan murah.
“Kami tidak hanya bicara pengawasan. Yang kami lakukan adalah intervensi antisipatif. Pasar murah digelar di berbagai kabupaten dan kota. Bahkan Kukar itu paling masif, hampir di banyak titik,” ungkapnya.
Lalu, kapan pemerintah menilai sebuah pasar sudah perlu diintervensi?
Ali menjelaskan, indikatornya berasal dari sistem pemantauan harga harian yang dilakukan secara berjenjang.
“Setiap daerah punya Pasar Pantau Induk. Petugas turun langsung ke pedagang, mencatat harga harian, lalu diinput ke sistem. Dari situ kelihatan tren: naiknya di mana, sudah berapa lama,” paparnya.
Jika kenaikan berlangsung konsisten selama satu hingga dua pekan dan mulai memberatkan masyarakat, daerah biasanya mengajukan permohonan resmi ke provinsi untuk dilakukan operasi pasar.
“Mereka biasanya bersurat ke kami. Menyampaikan kondisi di lapangan sudah naik seminggu atau dua minggu, lalu minta bantuan intervensi. Dari situ baru kami eksekusi,” pungkasnya. (lis)







