Daerah  

BPK Temukan 184 Masalah Keuangan di 9 Daerah Kaltim, Kutim Paling Banyak

Kepala BPK Kaltim, Mochammad Suharyanto/ Arusbawah.co

BERI.ID – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Kalimantan Timur mencatat 184 temuan dan memberikan 489 rekomendasi atas hasil audit Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun anggaran 2024 di sembilan kabupaten/kota di Kaltim.

Meski seluruh daerah meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), BPK menekankan bahwa sejumlah temuan menunjukkan adanya permasalahan serius dalam pengelolaan keuangan daerah.

“Temuan-temuan ini memang belum melampaui batas materialitas, sehingga opini tetap WTP. Namun, bukan berarti tidak ada kesalahan,” ujar Kepala BPK Kaltim, Mochammad Suharyanto, Jumat (23/5/2025), melansir Arusbawah.co

Permasalahan yang ditemukan meliputi pengelolaan aset dan utang, pembayaran honorarium, pendapatan daerah, hingga pertanggungjawaban belanja. Suharyanto menjelaskan, opini WTP bisa diberikan selama kesalahan yang ditemukan masih dalam batas wajar secara akuntansi.

Kutai Timur menjadi daerah dengan temuan terbanyak, yaitu 33 kasus dan 105 rekomendasi. Diikuti oleh Kutai Kartanegara dengan 23 temuan dan 57 rekomendasi, serta Penajam Paser Utara yang mencatat 22 temuan dan 66 rekomendasi.

“Jumlah rekomendasi bisa lebih banyak dari temuan karena satu temuan bisa menghasilkan beberapa saran perbaikan,” terang Suharyanto.

Lima Masalah Utama

BPK merinci lima permasalahan besar yang ditemukan, yaitu:

  1. Pengelolaan aset dan utang yang tidak tertib

  2. Pembayaran kontrak yang melebihi nilai seharusnya

  3. Pelanggaran ketentuan honorarium berdasarkan Perpres 33/2020

  4. Pendapatan daerah yang belum maksimal

  5. Belanja daerah yang tidak transparan dan tidak akuntabel

Salah satu temuan yang cukup mencolok adalah pembayaran gaji kepada pegawai yang sudah tidak berhak menerima, seperti pegawai yang telah meninggal, pindah tugas, atau sedang mengikuti pendidikan tanpa pemotongan gaji sesuai aturan.

“Kami temukan pegawai yang sudah meninggal atau pindah tapi masih menerima gaji. Ada juga yang sedang tugas belajar, seharusnya gajinya dipotong, tapi tetap dibayar penuh,” jelasnya.

Temuan lainnya termasuk pembayaran ganda untuk satu proyek fisik yang sama, serta pekerjaan pembangunan jalan yang volumenya tidak sesuai kontrak. Semuanya harus dikembalikan ke kas daerah.

Dalam hal honorarium, ditemukan pembayaran di atas ketentuan yang berlaku. “Misalnya seharusnya dibayar Rp10 ribu, tapi realisasinya Rp15 ribu. Itu jelas pelanggaran,” ujarnya.

Hibah Tak Dipertanggungjawabkan

BPK juga menyoroti hibah yang belum memiliki laporan pertanggungjawaban (SPJ) lengkap. Salah satu contohnya adalah hibah Rp100 juta yang baru dipertanggungjawabkan Rp20 juta oleh penerima.

Suharyanto menyatakan belum ada indikasi kecurangan (fraud) yang bersifat masif. Namun, jika dalam waktu 60 hari ke depan ada temuan baru atau dugaan pelanggaran hukum, maka kasus tersebut bisa masuk ke ranah aparat penegak hukum (APH).

“Jika setelah 60 hari masih ditemukan pelanggaran serius, APH bisa melakukan langkah hukum. BPK pun siap jika diminta bantu investigasi,” kata Suharyanto.

Tenggat 60 Hari

Sembilan daerah yang diperiksa diberi waktu 60 hari untuk menyelesaikan seluruh rekomendasi BPK. Apabila tidak ditindaklanjuti, bisa muncul risiko sanksi administratif maupun proses hukum lebih lanjut.

“Kami harapkan semua pelaksana kegiatan dapat menyelesaikan seluruh temuan dalam batas waktu yang ditentukan,” pungkas Suharyanto. (len)