Oleh: Yohanes Richardo N.W
(Wakil Presiden BEM FISIP UNMUL 2018 & Ketua Dewan Pimpinan Komisariat GMNI FISIP UNMUL 2019)
Beri.id, Opini – Meja makannya bertempat dipinggiran trotoar, cukup nasi+ceker ayam jadi santapan, kelap-kelip lampu kota soroti para penikmat warung Kopi Suryanata (Suasana Rakyat Nusantara), menyeduh secangkir Kopi Hitam, menghisap lebih dari sebatang kretek, ditemani suara-suara bisingan lalu lalang mobil dan motor, polusi pun melayang di udara, embun subuh berjatuhan pelan diatas ubun, dingin malam membungkus tubuh malam tadi sekitar Pukul 02.55 WITA, Rabu, (28/08/2019), Jalan Wahid Hasyim, Samarinda.
Bukan menabung segala keresahan atau menampung segala kegelisahan melainkan memulainya dengan bergerak dari lingkaran kecil dengan pemikiran besar.
Hanya dengan berdiskusilah, berbagai ide gagasan terakomodir dalam narasi perubahan, perdebatan dari berbagai kacamata sudut pandang menghasilkan suatu perspektif yang tepat.
Bukan menjaga sang malam atau merindukan cahaya bintang bersama rembulan, namun menantikan kehadiran ibu Kota yang tengah diperbincangkan menuai pro-kontra. Entah hal itu menjadi kepentingan prioritas bagi tanah Borneo, atau dibaliknya semata konsolidasi antara pihak investor bersama elit pemerintah, siapa sangka.
Yang jelas, kita tak pernah mengira bahwa “Keputusan Politik” sudah sah didepan mata, kabarnya kencang kita dengarkan dari media nasional hingga lokal. Bukan berarti kehendak takdir yang turun dari langit, jangan sampai nafsu politik berkedok obral proyek. Apakah, Kaltim tetap dikenal sebagai “Tanah Borneo” atau akan berubah menjadi “Lumpur Borneo.” Cukup mengantisipasi dari kerusakan ekologi akan berpotensi menuai berbagai patologi sosial serta berdampak pada pergeseran budaya.
Apakah Samarinda masih dikenal sebagai “Kota Tepian” atau “Kota Ratapan,” sebab sekian banyaknya lubang tambang menganga bakalan menjadi “Lubang Neraka” yang dibiarkan oleh para pendosa.
Jika perairan sungai mahakam telah tercemar racun-racun limbah tambang, “Pesut Mahakam” menyisakan cerita sejarah kelam.
IUP (Ijin Usaha Pertambangan) Kaltim terdapat 1.190 Izin Usaha Penambangan (IUP) dan 625 izin di Kabupaten Kutai Kartanegara. Di Kecamatan Samboja terdapat 90 izin pertambangan. Di Bukit Soeharto pun terdapat 44 izin tambang, kebijakan tanpa kebajikan. (sumber data : Jatam Kaltim).
Sudah 36 kematian anak tak berdosa ditelan lubang tambang, menjadi utang yang harus ditebus negara. Kalau Kaltim sebagai Paru-paru dunia, bukankah upaya kita ialah “Merawatnya” agar tetap sehat, sama halnya seperti yang dihimbau kutipan sebungkus rokok “Merokok dapat menyebabkan kanker paru-paru, dsb.”
Masih layakkah maksud slogan “Kaltim Green (Hijau) seperti yang terpapar jelas depan “Kantor Gubernur Kaltim,”sementara disekeliling taman dan pinggiran Kota pepohonan rindang banyak hilang dan dedaunan banyak “Layu”?
Kita hari ini dilanda dilema, antara Ibu Kota dan Ibu Tiri yang kejam ditanah pangkuan Ibu Pertiwi. Antusias politisi memang menggebu dengan satu “Ketuk Palu” tanpa kaku, atau ragu.
Idealnya, “Rakyat” harusnya menjadi “Raja” yang harus dilayani, bukan diperbudak atas kenikmatan Sumber Daya Alam (SDA), dieksploitasi, eksplorasi, dan ekspansi demi terakumulasi kapital yang akan diimpor keluar negeri.
Semoga kita semua memikirkan jangka panjang, tidak terlarut mengikuti arus yang tengah bergelombang elok membawa bencana bahaya, tanpa ditempa dengan pengetahuan yang kritis dan akal sehat serta dibekali budi nurani.