Cerita Kepsek SMP N 24 Samarinda soal Banjir di Sekolah, Siswa Tak Bisa Belajar! Kelas Penuh Lumpur

Proses pembersihan SMPN 24 Samarinda setiap usai banjir, Sabtu (6/9/2025). (Foto: Lisa/beri.id)

BERI.ID – Kepala SMPN 24 Samarinda, Bambang menyatakan bahwa setiap hujan deras mengguyur Samarinda, SMP yang dipimpinnya ini seolah berubah menjadi kolam lumpur.

Sekolah yang berdiri sejak 1992 ini bukan dikenal karena prestasinya, melainkan karena predikat “langganan banjir.”

Banjir besar pada 2021 menjadi titik balik penderitaan panjang sekolah ini.

Air setinggi hampir dua meter menenggelamkan ruang kelas, merusak ijazah siswa yang belum sempat diambil, hingga menghanyutkan peralatan belajar.

“Itu saat paling berat. Kami kehilangan dokumen penting yang tidak bisa tergantikan. Anak-anak pun terganggu pendidikannya,” ujarnya, Sabtu (6/9/2025).

Lanjutnya, banjir seringkali tak lagi dianggap bencana luar biasa, melainkan rutinitas tahunan.

Kadang setinggi mata kaki, kadang melumpuhkan seluruh aktivitas sekolah.

Guru dan siswa hanya bisa berjibaku setiap kali air masuk.

“Kami sudah berusaha sebisanya. Kadang pintu air kami tutup darurat, tapi kalau debit air terlalu besar, tidak ada yang bisa menahan,” jelas Bambang.

Dampaknya bukan sekadar ruang kelas kotor. Pendidikan lumpuh setiap kali banjir datang.

Siswa harus belajar dari rumah, dokumen administrasi rusak, dan fasilitas sekolah cepat hancur.

“Anak-anak itu sebenarnya ingin belajar normal, tapi bagaimana caranya kalau ruang kelas penuh lumpur,” ucapnya.

Pemerintah Kota Samarinda sebenarnya sudah merencanakan relokasi.

Sebidang lahan empat hektare di Bukit Pinang disiapkan, dengan target pembangunan sekolah baru pada 2026. Namun, bagi para siswa dan guru, waktu tiga tahun terasa terlalu lama.

“Informasi yang kami terima, relokasi memang sudah masuk anggaran. Tapi waktu tiga tahun itu bukan sebentar. Selama itu anak-anak tetap belajar di sekolah yang rawan banjir,” tutup Bambang.

Di lapangan, katanya, janji itu terasa seperti harapan yang diulur. Setiap hujan deras, orang tua hanya bisa menunggu dengan cemas, khawatir sekolah kembali terendam. (lis)