Data Monash Ungkap: Kemarahan Publik dan Polarisasi Kelas di Balik Aksi Agustus 2025

Analisis terbaru Monash Data & Democracy Research Hub menemukan bahwa ketegangan ini bukanlah fenomena baru, melainkan akumulasi masalah sosial sejak Pemilu 2024 lalu/ HO

Polarisasi Sosial Bukan Fenomena Baru

BERI.ID – Polarisasi kelas dan sentimen anti-elit politik kembali mencuat dalam aksi protes publik yang berlangsung pada 25–31 Agustus 2025.

Analisis terbaru Monash Data & Democracy Research Hub menemukan bahwa ketegangan ini bukanlah fenomena baru, melainkan akumulasi masalah sosial sejak Pemilu 2024 lalu.

Dari hampir 10 juta percakapan digital di media sosial dan pemberitaan online, tim peneliti menganalisis 13.780 unggahan orisinal untuk menangkap ekspresi warganet.

Hasilnya, mayoritas unggahan (70,9%) bersifat non-toksik, sementara 29,1% tergolong toksik.

Lonjakan percakapan bernuansa toksik terjadi pada 28–30 Agustus, beriringan dengan eskalasi kekerasan, terutama setelah meninggalnya pengemudi ojek online, Affan Kurniawan.

Polarisasi Didominasi Isu Kelas Sosial dan Anti-Elit

Peneliti menemukan sekitar 20% percakapan publik mengandung materi polarisasi.

Namun, polarisasi tidak semata-mata dipicu oleh ujaran kebencian, melainkan berakar dari ketegangan kelas sosial.

Pola ini serupa dengan temuan sebelumnya pada Pemilu 2024 dan Pilkada, di mana narasi publik terbelah antara kelompok berprivilese (elit politik, pejabat, pemegang akses ekonomi) dan working class (buruh, pekerja informal, serta kelas menengah rentan).

Dalam protes Agustus 2025, wacana “rakyat versus elit” semakin kuat: DPR dan pejabat dipandang menikmati privilese, sementara masyarakat bawah menjadi korban kebijakan maupun tindakan represif aparat.

Emosi Publik Bergerak Dinamis

Analisis emosi publik menunjukkan polarisasi lebih banyak digerakkan oleh rasa marah (47,3%).

Namun, terdapat pula rasa percaya (11,3%) dan antisipasi (10,8%) yang memperlihatkan sisi konstruktif polarisasi sebagai sarana solidaritas.

Emosi publik berkembang dinamis: dimulai dengan antisipasi di awal aksi, lalu memuncak dengan kemarahan pada 28–30 Agustus. Setelahnya, emosi bercampur dengan kesedihan, ketakutan, dan keterkejutan.

Uniknya, dalam konteks Gerakan 17+8, emosi marah mulai beralih ke sentimen netral dan joy. Narasi yang sebelumnya penuh amarah bergeser ke arah kebersamaan, solusi konkret, dan solidaritas simbolik.

Tren Polarisasi Sejak 2023

Sejak September 2023, Monash Data & Democracy Research Hub telah memantau percakapan publik terkait Pemilu dan Pilkada 2024. Dua sumbu utama polarisasi yang konsisten muncul adalah:

  1. Ketegangan kelas sosio-ekonomi: elite dengan privilese vs masyarakat pekerja dan rentan.
  2. Anti-elit/dinasti politik: kritik terhadap elite dan dinasti politik vs rakyat biasa.

Tren ini terus berlanjut sepanjang 2024 hingga 2025, dan mencapai puncaknya dalam aksi protes Agustus lalu. Faktor pemicu utama adalah gaya hidup mewah yang ditunjukkan sebagian elite politik di tengah kesulitan ekonomi rakyat.

Rekomendasi: Saatnya Pemerintah Merespons Serius

Peneliti Monash Data & Democracy menegaskan bahwa protes Agustus 2025 bukanlah anomali atau ulah aktor eksternal, melainkan refleksi akumulasi frustrasi publik sejak dua tahun terakhir.

Untuk meredam krisis legitimasi dan memperbaiki kepercayaan publik, pemerintah perlu:

  1. Mengakui adanya masalah: ketegangan kelas dan jarak dengan rakyat tidak bisa lagi diabaikan.
  2. Memberi respons transparan dan konkret: solusi kebijakan lebih efektif daripada sekadar komunikasi politik.
  3. Menghentikan glorifikasi gaya hidup mewah pejabat: simbolisme kemewahan hanya memperlebar jarak dengan rakyat.
  4. Menyediakan saluran aspirasi publik yang aman dan akuntabel agar frustrasi tidak terus menumpuk.

Dengan dinamika emosi publik yang bergerak cepat, ruang digital kini menjadi arena utama perekat solidaritas rakyat sekaligus penekan legitimasi elit. Jika tidak dikelola, polarisasi ini berpotensi semakin memperdalam krisis kepercayaan di Indonesia. (anj)