Hetifah Soroti Standar Pelayanan Unmul, Jangan Sampai Ada Diskriminasi dan Pungutan Liar

SAMARINDA – Kaget rasa nya ketika tau perguruan tinggi di Kaltim berakreditas A, masih terdapat pungutan asing dan belum memiliki standar pelayanan yang sudah di amanatkan di Undang-undang pelayanan publik, serta Peraturan Menteri.

Akreditas A atau bisa di katakan berkatagori sangat baik, mesti nya juga berisi kebaikan administrasi dan pelayanan. Namun hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan di Universitas Mulawarman. Baru saja penganugerahan atas akreditasi itu ramai, runtuh rasa nya ketika membaca berita (9/5) lalu di media cetak lokal, bahwa UNMUL belum memiliki standar pelayanan dan masih ada pungutan asing di proses pelayanan administrasi nya.

Temuan ini di dapat Ombusman RI (ORI) saat melakukan observasi singkat bulan maret lalu. Pelayanan legalisir ijasah berbayar dan menu hidangan saat sidang yang bisa di hadirkan sesuai pesanan.

Hal ini di benarkan Ali Wardana pelaksana tugas Kepala ORI perwakilan Kaltim, “kita memang menemukan beberapa temuan, misalnya fotokopi legalisir itu kok beda tiap fakultas, ada berbayar ada yang tidak, bahkan ada oknum yang reques sendiri untuk membawa snack saat ujian,” sebut Ali Wardana.

Semua ketentuannya sudah diatur dalam UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik, Peraturan Menteri Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 15/2014, Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 59/2016, serta Peraturan Presiden Nomor 76/2013.

“Kalau menurut UU Pelayanan publik setiap layanan kan harus ada standar pelayananya, seperti legalisisr itu harus bayar atau tidak, lalu syarat syaratnya apa aja, berapa lama diselesaikan. Nah sekarang kan kita gak tau, dan memang seperti itu selama ini, ini berpotensi hadir nya maladministrasi” jelas Ali

Meskipun UNMUL berstatus BLU (Badan Layanan Umum), namun Ia menganggap keliru karena menurut nya tidak ada standar layanan khusus. “Bagaimanapun UNMUL adalah layanan publik yang harus menjalankan standar administasi,” Ucap Ali.

Sebagai lembaga yang bersifat layanan publik UNMUL mesti nya demokratis, keterbukaan mesti menjadi iklim yang seharusnya di lakukan oleh pelaksana layanan. Hal ini di sampaikan Hetifah Sjaifudian Wakil Ketua Komisi X DPR RI dapil Kaltim-Kaltara, yang di konfirmasi via telpon (13/5).

“Masukan Ombusman ini mesti di nilai bersifat konsumtif, kritikan dari civitas juga mesti di nilai konsumtif, iklim nya mesti terbuka dalam jalannya perguruan tinggi sebagai salah satu pelayan publik,” Ucap Hetifah

Saat ini semua perguruan tinggi sedang berlomba memberikan pelayanan publik terbaik, Standar pelayanan menyangkut pelayanan publik, khusus nya pengaduan sudah jadi kesepakatan semua lembaga, Kementerian termasuk perguruan tinggi dan ada 7 standar yang mesti di penuhi.

“Jadi gini kalau dalam hal standar pelayan yang menyangkut pelayanan publik, khusus nya pengaduan sudah jadi komitmen semua kementrian, lembaga dan perguruan tiinggi. Di nasional ada 7 standar perguruan tinggi yang mesti di penuhi, standar kurikulum, standar pengajar, standar sarana prasaranan, standar tata kelola nya, Nah mungkin yang di tekanan oleh Ombusman itu standar pelayanan publik kepada pengguna layanan, baik mahasiswa, orang tua peserta didik, dan dosen,” pungkas Hetifah.

Menurut nya UNMUL harus segera memperbaiki kekurangan standar pelayanan, segala sesuatunya juga mesti terbuka dan hasil dari kesepakatan bersama komponen civitas akademik dan di tetapkan SOP yang baku.

Pungutan yang di benarkan oleh pihak Kampus melalui Rizal Irawan Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan Unmul, “dana sekecil apapun yang masuk itu masuk dalam kas BLU, sementara penarikan seperti legalisir ijazah itu adalah masuk dalam PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), semua kas itu masuk dalam pengunaan Layanan Umum, dan di kembalikan lagi pengunaanya kepada mahasiswa,” Sebut Irawan.

Sebelum nya Irawan menjelaskan bahwa pungutan tersebut di lakukan tidak di semua fakultas. Status BLU yang di ambil UNMUL juga membuat Universitas mengalami kesulitan keuangan, karena tidak lagi mendapatkan tukin (tunjangan kinerja) dari pemerintahan. Sementara di tuntut untuk tetap memberikan remunerasi, “Maka tak salah jika di sejumlah fakultas menerapkan adanya pungutan terhadap suatu pelayana,”Sebut Irawan.

Hal ini di tanggapi serius oleh Hetifah, “mungkin ada kesulitan,lantas di buatkan metode atau teknik, tapi sebenarny itu harus termasuk kepada kesepakatan dan bagian mekanisme yang di putuskan bersama, jika tidak maka masuk ke katagori pungutan liar. Berbahaya pungutan yang tidak di pertanggung jawabkan,” Sebutnya.

Lanjut Hetifah, kalau toh memang ada, mesti ada keterbukaan penggunaan dana dan atas dasar kesepatan bersama, hal itu harus ada komite yang menerima laporannya.

“Jangan sampai hal yang tidak wajib menjadi terwajibkan, dan jangan sampai juga terjadi diskriminasi karena mahasiswa tidak sanggup memberikan sajian lantas mengurangi nilai dan tertunda karena tidak cukup uang,” Tegas Hetifah. (Fran/Red)

kpukukarads