IKA GMNI; KORUPSI KEPEMILUAN, BONGKAR SAMPAI AKAR

Beri.id – OTT KPK yang menyeret salah satu anggota komisioner KPU terkait kasus korupsi kepemiluan terkait pergantian waktu anggota DPR RI yang baru-baru ini terjadi mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, salah satunya oleh Ikatan Alumni GMNI (IKA GMNI) yang sangat menyesalkan dan turut prihatin atas peristiwa tersebut.

Dalam rilis yang diterima redaksi beri.id , Sekretaris Jendral IKA GMNI, Bung Radjoki Sinaga menyatakan bahwa peristiwa ini merupakan tikaman paling tajam dan merobek jantung tatanan demokrasi yang sedang dibangun masyarakat Indonesia saat ini.

dprdsmd ads

“Sebagai komisioner penyelenggara pemilu, tindakan oknum komisioner bukan saja mencoreng kredibilitas KPU tetapi juga merobek jantungnya kehidupan demokrasi bangsa,”ungkapnya.

Akibatnya kata dia, rakyat semakin muak menyaksikan perilaku “politik uang” yang dilakukan para elit partai maupun elit penyelenggara pemilu yang mempermainkan kekuasaan serta jabatan publik yang diembannya.

IKA GMNI juga menghimbau agar aparat penegak hukum KPK tidak berhenti hanya menangkap tersangka pelaku, tetapi juga diminta untuk membongkar tuntas sampai ke akar-akarnya.

“Korupsi ini ibarat tim sepakbola. Tidak berdiri sendiri. Masing-masing lini punya peran didalamnya. KPK harus berani membongkar skandal ini setuntas-tuntasnya dan tidak perlu takut intervensi politik pihak manapun” terang Radjoki.

Lebih jauh IKA-GMNI juga berharap agar pemerintah lebih progresif mendorong upaya pemberantasan korupsi di segala sektor penyelenggara negara dan institusi pelayanan publik.

Salah satunya dengan cara pemberian insentif atau hadiah yang besar dan memadai bagi tiap individu warganegara maupun kelompok masyarakat anti korupsi yang terpanggil untuk melaporkan kasus-kasus korupsi di lingkungannya.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2018, besaran insentif yang diberikan kepada pelapor korupsi hanya 0,2 % dari nilai nominal uang korupsi yang disita.

“Jumlah ini sangat tidak layak dan tidak sebanding. Komisi penjualan property aja menurut peraturan sudah mencapai 2 hingga 5% dari nilai property yg terjual, masak pelapor korupsi dibayar murah dibawah sales-marketing property ? Idealnya tiap pelapor korupsi diberi insentif 10-15 % dari nilai uang korupsi tersebut. Supaya rakyat bergairah dan berlomba-lomba melaporkan praktek korupsi yang terjadi di lingkungan penyelenggaraan negara baik di tingkat pusat maupun pemerintahan daerah dan desa” tutup Radjoki. (AS)