Sembilan Fraksi Partai Politik Di DPRD Kaltim, Kordinir Dana Aspirasi Rp 125 Miliar APBD Perubahan 2018

SAMARINDA – Akhir bulan September ini segera ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan TA 2018 oleh DPRD Kaltim sebesar 1,562 triliun rupiah. Dalam tambahan anggaran belanja tersisih kurang lebih 125 miliar rupiah dialokasikan sebagai dana aspirasi. Kabar nya anggaran ini hadir dari aspirasi masyarakat yang di kordinir Sembilan fraksi partrai politik di DPRD Provinsi.

Nominal anggaran fraksi tersebut, dikelolakan peranggota fraksi mulai kisaran Rp. 1.250.000.000 hingga Rp. 1,5 miliar.

dprdsmd ads

Dari data yang di himpun redaksi digital, alokasi yang di salurkan melalui dana aspirasi tersalur melalui dana hibah dan bantuan keuangan. Berikut urutan nominal jumlah yang teralokasikan untuk Sembilan fraksi partai politik. Fraksi Golkar sebesar Rp. 30,5 miliar, Fraksi PDIP sebesar Rp. 22,2 miliar, lalu Fraksi PKB Rp. 9 miliar. Kemudian fraksi Demokrat Rp. 10,5 miliar, fraksi Hanura Rp. 8,5 miliar, fraksi Gerindra Rp. 14,7 miliar, dan fraksi PKS Rp. 8,5 miliar. Untuk fraksi PAN sebesar Rp. 9 miliar, sedangkan fraksi gabungan PPP-Nasdem sebesar Rp. 12,7 miliar. Sumber ; Rekapan Usulan Aspirasi Fraksi DPRD Kaltim di APBD Perubahan 2018.

Kedua belah pihak, baik rintah Provinsi dan Fraksi partai politik menepis kabar dana aspirasi yang teralokasi dalam APBD Perubahan 2018 tersebut.

Seperti penyataan Plt Sekertaris Provinsi Kaltim yang di kutip diksi.co, Meiliana. Saat di korfirmasi terkait adanya dugaan Rp. 125 miliar yang masuk dalam APBD Perubahan 2018. “Taka ada. Silahkan Tanya Bappeda dan pak Fathul Halim (BPKAD),” terang Meiliana.

Ketua DPRD Kaltim, Syahrun. Bahkan menepis ada nya jatah alokasi dana aspirasi anggota DPRD sebesar Rp. 125 miliar dari tambahan APBD Perubahan 2018 Rp. 1,562 triliun.

“Tidak ada itu. Itu berdasarkan usulan dari dewan dan pemerintahan ,”Ucap Syahrun, usai memimpin rapat paripurna pemandangan fraksi terhadap nota keuangan, Selasa (25/9).

Dana aspirasi merupakan anggaran yang biasa diperuntukan membantu konstituen sesuai daerah pemilihan masing-masing anggota DPRD. Menurut Herdiansyah Hamzah, pengamat hukum asal Universitas Mulwarman. Mengamati logika anggaran ini bisa belajar dari kasus korupsi massal di pembahasan APBD Malang.

“Sebenarnya bisa jadi ‘aspirasi konstituen’ itu hanya dijadikan tameng saja. Sementara pusaran transaksi itu terjadi diantara DPRD dengan pemerintah. Terbongkarnya kasus korupsi massal di Malang itu kan berawal dari suap salah satu OPD (organisasi perangkat daerah, dulunya disebut SKPD) kepada anggota DPRD,” terang pria akrab disapa Kastro.

Lanjut menurut Herdiansyah Hamzah, “intinya ruang transaksi terhadap APBD ini bisa terjadi, dikarenakan 3 hal,” :

Pertama, ada ketidakjelasan konstituen mana yang dimaksud dalam lingkaran dana aspirasi ini. Kalau dilihat polanya, dana itu seperti diberikan gelondongan ke masing-masing fraksi. Kan harus jelas peruntukan dana itu untuk siapa saja dan dalam keperluan apa saja. Padahal kita tau, dalam skema anggaran sendiri tidak dikenal nomenklatur dana aspirasi.

Kedua, dana aspirasi itu pada akhirnya menggunakan pos hibah dan bansos atau via pos pendanaan OPD. Disini ruang transaksi bermula. Bisa jadi ada main mata antara pemerintah dan DPRD. Ini bisa dibaca dari lambannya proses pembahasan APBD-P, bahkan diawal proses rapat anggaran dilakukan tertutup. Ini mengindikasikan saling sandera diantara keduanya, yang umumnya berakhir dengan kompromi. Ini belum termasuk potret pos hibah dan bansos yang selama ini empuk sebagai ladang korupsi.

Ketiga, ini tentu saja erat kaitannya dengan momentum politik elektoral pemilu 2019. Semua berlomba-lomba menguatkan modal finansialnya. Terutama caleg petahana atau yang sekarang menjabat. Dan bancakan yang paling mudah itu tentu saja pos bansos dan hibah. Untuk meloloskannya, biasanya terlebih dahulu membuat posisi tawar dengan pemerintah. Sebagai kompromi, pemerintah pada akhirnya meloloskannya akibat tersandera. Kalau tidak disetujui, maka anggaran tidak diketok palu di DPRD.

Keempat, mengenai usulan pos anggaran itu, harusnya menjadi kewenangan mutlak pemerintah daerah. DPRD hanya membahasnya saja, jadi tidak bisa mengusulkan anggaran. Saya menduga, selama ini terjadi proses transaksional berbalut dana aspirasi. Kasus di sulbar dan bulukumba, menegaskan bagaimana modus korupsi berbalut dana aspirasi ini. (Red)