Insinerator Samarinda Jadi Ancaman Baru Jika Masyarakat Tak Siap Pilah Sampah

Kepala Dinas PUPR Kota Samarinda, Desy Damayanti. (Foto: Lisa/beri.id)

BERI.ID – Kepala Dinas PUPR Kota Samarinda, Desy Damayanti, menegaskan bahwa insinerator yang tengah dikebut di 10 Kecamatan Samarinda bukan mesin ajaib yang bisa menelan seluruh sampah.

Proyek ini bahkan digadang-gadang sebagai solusi untuk mengurangi sampah yang menumpuk di TPA Bukit Pinang.

Namun demikian, tanpa pemilahan dari hulu, teknologi tersebut bisa mandek dan justru menjadi beban baru.

“Insinerator tidak serta-merta menelan semua sampah. Tetap harus ada pemilahan di hulu. Karena itu kami lakukan sosialisasi lewat kelembagaan bank sampah agar masyarakat lebih paham,” tegas Desy, belum lama ini.

Di lapangan, sosialisasi baru menyasar lewat bank sampah yang jumlahnya terbatas.

Artinya, belum semua warga benar-benar memahami peran mereka dalam mendukung operasional insinerator.

Jika kesadaran memilah sampah dari rumah tak segera terbentuk, investasi besar ini terancam tak efektif.

Lebih jauh, lokasi insinerator juga masih menuai perdebatan. Beberapa unit memang sudah berdiri, tetapi penempatan fasilitas terutama di Samarinda Seberang masih diperdebatkan.

Pemerintah menargetkan 10 kecamatan memiliki insinerator, namun kepastian titik lokasi masih “menggantung”.

“Pemerintah menugaskan pembangunan di 10 kecamatan, tapi untuk lokasi spesifik masih dalam pembahasan. Yang penting fasilitas itu ada di kecamatan masing-masing,” ungkap Desy.

Persoalan krusial lain adalah pengelolaan. PUPR hanya bertugas membangun, sementara operasional insinerator kemungkinan diserahkan ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) atau pihak ketiga.

Tak hanya itu, di level kota juga bergulir wacana pembangunan insinerator skala besar untuk menampung sampah dari luar Samarinda.

Proyek ini menambah kompleksitas, sebab pemerintah daerah harus memastikan bahwa kebijakan persampahan tidak hanya menjadi proyek infrastruktur, tetapi benar-benar menjawab persoalan sampah yang kian kronis.

Desy mengingatkan, perubahan perilaku masyarakat adalah kunci.

“Kalau sejak dari rumah sampah sudah dipilah, beban TPA bisa jauh berkurang,” ujarnya.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebiasaan memilah sampah masih minim, bank sampah baru menjangkau segelintir warga, dan pengawasan lingkungan seringkali lemah.

Jika kondisi ini tak berubah, insinerator dikhawatirkan hanya menjadi monumen teknologi mahal yang gagal mengurangi krisis sampah.

“Tanpa partisipasi masyarakat, pengelolaan jelas, dan transparansi dalam setiap tahap, Samarinda bisa saja terjebak pada solusi semu,” pungkasnya. (lis)