JAKARTA – Secara resmi kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dibatalkan per 27 Februari lalu, menyusul dengan dikabulkannya Peninjauan Kembali untuk membatalkan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2019.
Adapun upaya Judicial Review diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).
Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No 75 Tahun 2019 yang berisi kenaikan iuran, mulai dari Rp 42 ribu bagi pasien kelas 3, Rp 110 ribu bagi pasien kelas 2 dan Rp 160 ribu bagi pasien kelas 1, yang berlaku sejak tanggal 1 januari 2020 lalu resmi dibatalkan.
“Tentang perubahan atas Perpres Nomor 84 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, yang artinya iuran BPJS tetap bertahan pada tarif sebelumnya yakni Rp 80 ribu bagi kelas 1, Rp 55 ribu bagi kelas 2 dan Rp 25.500 bagi kelas 3.”bunyi petikan amar putusan MA.
Dalam penjelasannya, MA menyatakan bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28H Jo, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, bertentangan pila dengan Pasal 2, Pasal 4 huruf b,c,d dan e, Pasal 17 ayat 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Kesehatan Sosial Nasional.
Putusan dari MA tentang pembatalan kenaikan iuran BPJS disambut dengan gembira oleh berbagai pihak, diantaranya dari Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI). Dikutip dari berdikarionline.com Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Wahida Baharuddin Upa dalam pernyataannya menyampaikan bahwa Keputusan MA adalah tepat dan telah mewakili rasa keadilan bagi peserta BPJS. Menurutnya Pertentangan aturan tersebut bersifat sangat prinsipil, yakni melanggar pasal terkait asas dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional.
Prinsip konstitusi (pasal 34 ayat 2 UUD 1945 dan UU SJSN pasal 3 menekankan asas kemanusiaan, kemanfaatan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sementara di sisi lain, Perpres 75 Tahun 2019 di dasarkan pada prinsip asuransi, perhitungan kenaikan iuran berdasarkan aktuaria.
Ditambahkannya lagi bahwa Pasal 34 Perpres 75 tahun 2019 juga telah melanggar pasl 3 UU BPJS tentang prinsip penyelenggaraan yaitu Prinsip nirlaba.
Selain itu, sorotan juga ia berikan pada penyelenggaraan JKN oleh BPJS yang tidak mengikuti prinsip kehati-hatian, teliti, cermat dalam pengelolaan keuangan dan prinsip akuntabilitas dalam pengeloaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) diketahui memang merupakan salah satu organisasi yang sejak awal tegas menolak rencana kenaikan iuran BPJS ini, bahkan sejak awal, sistem yang dijalankan dalam penyelenggaraan kesehatan oleh BPJS sudah mendapatkan kritikan tajam.
Beberapa bulan terakhir di beberapa kota, SRMI menggelar aksi untuk mendesak agar Presiden Joko WIdodo membatalkan penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional berbasis asuransi yang dijalankan oleh BPJS. Dan sebagai alternatifnya SRMI mengajukan konsep Jaminan Kesehatan Rakyat Semesta (Jamkesrata) yang menjamin hak kesehatan seluruh warga negara.(As)