Hukum  

Kasus Proyek Pembangunan Pelabuhan Kenyamukan, 2 Petani Divonis 5 Tahun Penjara

SAMARINDA – Majelis hakim pengadilan Tipikor Samarinda menggelar sidang dengan agenda membacakan vonis hukuman terhadap 2 terdakwa kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terkait proyek pembangunan pelabuhan kenyamukan, Kutai Timur, Pada Kamis (23/05/2019).

Sidang dipimpin Hakim ketua Abdul Karim ini menjatuhkan hukuman kepada Dua Terdakwa Haerudin dan Baharuddin Kudu masing-masing dijatuhi hukuman 5 tahun penjara, sebelumnya dua terdakwa dituntut jaksa dengan kurungan 7 tahun 8 bulan.

dprdsmd ads

Majelis hakim menyatakan terdakwa telah terbukti melanggar pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.

“Menyatakan terdakwa Haerudin divonis 5 tahun penjara serta denda 200 juta subsider 6 bulan penjara,” kata Abdul Karim saat membacakan tuntutan

Selain itu hakim juga menjatuhkan hukuman tambahan berupa uang pengganti sebesar 189 juta.

Setelah mendengarkan vonis tersebut, hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk berunding dengan kuasa hukumanya dan terdakwa menyatakan masih pikir-pikir dengan vonis tersebut.

Dikonfimasi usai persidangan, melalui kuasa hukum Haerudin mengatakan, Vonis yang diberikan kepada kedua tersangka yang sebelumnya merupakan bagian dari kelompok tani windu jaya, dinilai mengabaikan fakta-fakta hukum yang selama proses sidang berlangsung, sejak awal hingga sidang vonis hari ini.

“Kami sudah meminta kepada Jaksa untuk menghadirkan mereka (Tim Sembilan) agar kemudian semuanya jelas, namun itu diabaikan.” ujar La Ode Benny selaku kuasa hukum Haerudin.

“Kami juga sudah menghadirkan saksi-saksi ahli, tetapi apa yang disampaikan oleh saksi-saksi ahli, sepertinya tidak dijadikan pertimbangan dalam proses persidangan.” sambungnya.

Miftah Hasyim, putri dari terdakwa Haerudin terlihat tak kuasa menyembunyikan kekecewaannya saat Hakim membacakan putusannya. Sesaat setelah Hakim membacakan vonis yang dijatuhkan kepada tersangka Haerudin, Miftah Hasyim kemudian meninggalkan ruang persidangan.

“Kami mau cari keadilan dimana lagi mas? Saya tidak minta yang aneh-aneh mas, saya cuma mau kasus hukum yang sedang dijalani bapak saya ini betul-betul di proses secara adil. Yang bersalah harus dihukum tanpa pandang bulu.” pungkas Miftah kepada beri.id

“Bapak memang cuma tamatan Sekolah Rakyat mas, kerjanya petani tambak, beliau cuma sekretaris kelompok tani, tapi bukan berarti tidak punya hak untuk diperlakukan sama dimata hukum. Tetapi bagaimana saya bisa percaya bahwa bapak kami sudah dipenuhi hak nya sementara orang-orang yang seharusnya lebih bertanggung jawab dibiarkan bebas? Kemudian terhadap tersangka yang lain juga menurut kami mendapat perlakuan yang berbeda, tuntutan JPU saja tidak seberapa, jauh dari tuntutan yang diberikan pada bapak, kemudian vonis mereka, bandingkan dengan vonis yang hari ini dibacakan buat bapak saya” sambung Miftah Hasyim sembari menyeka air matanya.

Saat ditanya mengenai kelanjutan perjuangannya menuntut keadilan, Miftah menyampaikan bahwa semua upaya akan coba dilakukan termasuk mengajukan banding.

Lanjutan persidangan terhadap kasus tindak pidana korupsi pembangunan pelabuhan Kenyamukan yang juga pernah menyeret nama Bupati Kutai Timur saat ini, Ismunandar (saat itu menjabat sebagai Sekretaris Daerah, dan menjadi Ketua Tim 9) namun proses terhadapnya dihentikan, mulai mendapat sorotan dari berbagai pihak

dalam 2 agenda persidangan terakhir terhadap terdakwa Haerudin dan Baharuddin, yakni sidang pembacaan pledoi pada Selasa 21/5/2019 hingga sidang dengan agenda pembacaan vonis hari ini, ruangan persidangan cukup ramai dengan kehadiran mahasiswa serta orang-orang yang turut bersimpatik terhadap perjuangannya dalam menuntut keadilan.

Saat dimintai keterangan, Andi salah satu mahasiswa yang juga terlihat hadir pada persidangan sebelumnya, menjelaskan bahwa kehadiran mereka semata-mata sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat yang sedang menuntut keadilan.

“Sebelumnya kami mohon maaf karena memang baru belakangan ini kami mendapat kabar tentang kelanjutan kasus ini. Kehadiran kami disini sebagai bentuk solidaritas kami terhadap petani serta keluarga yang menurut kami hanya dijadikan kambing hitam dalam kasus ini,” ucapnya

Dengan menghormati proses hukum yang sedang berjalan, serta situasi politik nasional yang sedang panas, disebutnya sejauh ini pihaknya hanya menyaksikan bagaimana persidangan berlangsung dari ruang sidang, namun tidak menutup kemungkinan untuk kedepan, kami bisa saja menggelar aksi.

“karena sejauh yang kami pelajari baik dari pemberitaan-pemberitaan di media sejak awal kasus ini bergulir serta penjelasan dari pihak keluarga, kami menilai bahwa semangat yang digelorakan bangsa ini dalam upaya penegakan hukum yang adil, sejauh ini sangat mengecewakan,” bebernya

Terhadap proses penuntasan kasus ini, sejak awal hingga sekarang, dirinya mengatakan seperti melihat contoh nyata teentang tudingan-tudingan yang seringkali dilontarkan bahwa hukum kita ini tajam ke bawah namun tumpul ke atas.

“Coba fikir bagaimana mungkin 2 petani ini mendapatkan vonis hukuman yang sangat berat dibandingkan dengan para tersangka sebelumnya, sementara mereka tidak memiliki peran yang begitu vital, berbeda dengan tersangka sebelumnya yang berasal dari panitia sembilan yang dibekali SK Bupati, diisi oleh orang-orang yang hebat, mulai dari kelas Sekretaris Daerah hingga Kepala Desa. Dan ingat, sebelum munculnya nama 2 petani ini, sudah ada yang diitetapkan sebagai tersangka, namun satu diantaranya bisa lolos sementara yang lainnya setelah ditangkap kemudian dijadikan tahanan kota oleh Kejari Kutim dengan jaminan dari pemerintah kabupaten dan keluarga dengan alasan masih dibutuhkan,” tuturnya

Nah, sekarang kenapa kabupaten tidak jamin 2 petani ini,? Apa Pemerintah kabupaten beranggapan bahwa 2 orang ini tidak dibutuhkan keluarganya? Ingat, bagaimanpun juga Pemerintah kabupaten Kutai Timur memiliki hutang budi terhadap petani-petani ini. Mereka dengan kesadaran sendiri, dengan bibit sendiri pernah menanam bakau untuk melindungi pantai dari ancaman abrasi. Mereka mengerjakan apa yang seharusnya pemerintah kabupaten kerjakan,” ucap Andi lebih lanjut.

Kemudian harap dicatat, sambungnya, “bahwa jika berbicara tentang kerugian berapa taksiran kerugian untuk empang yang berisi ikan bandeng dan udang windu, yang dalam kurun waktu setahun bisa panen sampai 2 kali, lalu kemudian tidak bisa lagi digarap, terhitung sejak 2010 hingga detik ini. Lalu, bagaimana mungkin tanah yang mestinya dibebaskan oleh pemerintah justru kemudian diambil alih oleh pemerintah bahkan meminta pemiliknya untuk membayar gantu rugi. Kalau kejadian ini kemudian juga terjadi didaerah-daerah lain, maka Reforma Agraria hanya akan menjadi sekedar jargon saja.” tutupnya (as)