Samarinda (15/8/17) – persidangan ketua komura Gaffar dan sekertarisnya Dwi tampak penuh sesak dengan kehadiran kerabat dekat. Gaffar dan dwi terlihat santai saat disapa majelis hakim Joni Kondole. Saat persidangan berlangsung Secara bergilir surat dakwaan Gaffar dan Dwi dibacakan jaksa.
Dalam dakwaan Gaffar, menerangkan bahwa anggota DPRD ini dinilai menguntungkan diri sendiri kurang lebih Rp 184 miliar, keuntungan ini diperoleh ketua dan sekertaris KOMURA ini sejak 2010 hingga 2017.
Dengan menyalahgunakan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM 35 tahun 2007 tentang pedoman perhitungan tarif pelayanan jasa bongkar muat barang ke kapal di pelabuhan. Gaffar juga diduga melakukan pemaksaan terhadap pengguna jasa bongkar muat dengan membayar sejumlah tarif bongkar dengan nilai yang ditentukan secara sepihak oleh Komura.
Dalam pembacaan isi dakwaan, bahwa awal TPK (Terminal Peti Kemas) Palaran beroperasi diadakan rapat pembahasan tarif bongkar muat. PT PSP (Pelabuhan Samarinda Palaran) meminta agar tarif bongkar muat dipatok harga Rp 30 ribu perkontainer. Karena aktivitas bongkar muat sudah menggunakan mesin. Fungsi TKBM hanya membuka pasang sepatu kontainer. Namun saat itu pihak Komura tetap bersih kukuh dengan tarif Rp 150 ribu perkontainer.
“Saat itu Gaffar memukul meja menggunakan tangan saat rapat berlangsung dan mengatakan Samudera Indonesia datang ke Samarinda untuk berinvetasi bukannya menyerap tenaga kerja malah mengurangi tenaga kerja,” bunyi dakwaan saat dibacakan jaksa.
Gaffar juga di duga melakukan intimidasi dengan menggerakan puluhan anggota Komura untuk menekan pihak terkait agar disetujui tarif yang diusulkan Komura. Dan Atas perbuatannya, Ketua Golkar Samarinda ini diancam tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam pasal 368 ayat 1 KHUP juncto pasal 55 ayar 1 juncto pasal pasal 64 ayat 1 KUHP. Serta pasal 3 UU nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang juncto pasal 55 ayat 1 pasal 65 ayat 1 KHUP.
Begitu juga Dwi. Sekretaris Komura ini diduga bersama dengan Gaffar melakukan perbuatan melanggar hukum dengan menempatkan, mentransfer, mengalihkan atau membelanjakan atas harta kekayaan dengan jumlah uang kurang lebih Rp 184 miliar. Uang tersebut ditempatkan di sejumlah rekening bank atas nama pribadi maupun Komura.
Juga ada pembelian jumlah bangunan dan tanah. 1 unit rumah, 2 unit apartemen dan 6 bidang tanah, untuk Gaffar. Sementara Dwi diduga aliran dana tersebut untuk pembelian sejumlah kendaraan bermotor, tanah dan bangunan. Diantaranya, 5 buah mobil mewah, 7 sepeda motor mewah, 8 bidang tanah, 1 unit rumah toko, serta 1 unit rumah dan tanah.
“Semua aset ini diduga menggunakan dana hasil pemerasan tarif bongkar muat di TPK Palaran,” lanjut jaksa.
- Baca juga : Tanpa pungli KSU BMT jabal Nur berkembang
Akibat perbuataanya, Dwi diancam dengan tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam pasal 368 ayat 1 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 juncto pasal 64 ayat 1 KUHP. Serta pasal 3 UU nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak piudana pencucian uang juncto pasal 55 ayat 1 pasal 65 ayat 1 KHUP.
Usai pembacaan dakwaan, Hakim Joko memberi kesempatan agar Gaffar dan Dwi mendiskusikan isi dakwaan tersebut bersama penasihat hukumnya. Akhirnya, melalui penasihat hukumnya, Joko dan Tedo, Gaffar menyatakan keberatan dan siap melakukan bantahan pada sidang berikutnya. Sementara Dwi tetap menerima dakwaan itu.
Sambil mengetok palu pertanda sidang berakhir, hakim Joko akhirnya menyetujui sidang kembali dilanjutkan pekan depan, Kamis (24/8/17) dengan agenda pembacaan eksepsi Gaffar. (Arm)