BERI.ID – Dari total 2.505 petak kios baru Pasar Pagi bagi 1.800 pedagang yang dimasukkan ke sistem aplikasi pada tahap awal, lebih dari 700 pedagang masih berada di ruang abu-abu kebijakan, menunggu verifikasi dan kepastian hak berjualan.
Masalah utama muncul dari ketidaksinkronan data ukuran kios, yang berdampak langsung pada pembacaan hak pedagang di aplikasi.
Hal itu diakui Asisten II Setda Samarinda, Marnabas Patiroy, yang menyatakan bahwa tahap awal pendataan kios tidak berjalan steril dari kesalahan.
“Ukuran kios berbeda-beda. Ada yang 2×2 terbaca menjadi 3×3. Itu memicu kegelisahan pedagang. Kesalahan teknis ini baru difinalkan dan diperbaiki hari ini,” ujar Marnabas, Rabu (24/12/2025).
Kesalahan tersebut bukan perkara sepele.
Di pasar tradisional, ukuran kios berkorelasi langsung dengan nilai sewa, beban retribusi, hingga posisi strategis.
Ketika data digital tidak akurat, kepercayaan pedagang pun goyah.
Pemkot Samarinda menyebut tahap pertama hanya diperuntukkan bagi pedagang yang aktif berjualan, memiliki SKTU, serta tidak memiliki tunggakan kewajiban.
Namun realitas di lapangan jauh lebih kompleks.
Pasar Pagi selama puluhan tahun tumbuh dengan pola semi-informal, banyak pedagang berjualan rutin, tercatat membayar retribusi harian, tetapi tidak memiliki SKTU.
“Masih ada sekitar 700 pedagang, yang benar-benar berjualan, punya bukti pembayaran, tapi tidak punya SKTU. Ini yang akan diverifikasi di tahap kedua melalui unit pengaduan,” jelas Marnabas.
Artinya, hampir 28 persen dari total pedagang Pasar Pagi belum memiliki kepastian masuk sistem.
Kondisi ini memicu kekhawatiran berlapis, mulai dari kehilangan kios, terpinggirkan dalam penataan ulang, hingga dugaan ketimpangan perlakuan.
Untuk meredam gejolak, Pemkot membuka dua posko pengaduan, masing-masing di Pasar Segiri dan Pasar Merdeka.
Semua laporan akan diverifikasi dengan mencocokkan database lama, jurnal retribusi harian, serta pengakuan petugas lapangan.
“Kita pakai pola pengaduan. Kalau datanya kuat dan memang berjualan, akan kita evaluasi,” katanya.
Namun, hingga kini tidak ada tenggat waktu pasti untuk penyelesaian tahap kedua.
Pemerintah hanya menargetkan seluruh proses rampung sebelum akhir 2025.
Bagi pedagang, target tersebut terasa terlalu jauh, sementara ketidakpastian terjadi hari ini.
“Kalau bisa Desember 2025 semua sudah masuk. Kalau pengisian kios lambat, pasar juga sepi. Kita sama-sama rugi,” ujar Marnabas.
Selain persoalan data, penataan Pasar Pagi juga diwarnai keluhan atas pelayanan aparat UPTD yang dinilai kurang humanis.
Di tengah ketegangan dan kecemasan, interaksi kasar, sekecil apa pun, mudah memicu konflik.
Marnabas mengakui adanya tekanan kerja ekstrem di lapangan. Petugas disebut harus lembur hingga dini hari, mengejar target input data 1.800 pedagang, sambil menghadapi arus pertanyaan tanpa henti dari pedagang yang cemas.
Di sisi lain, ia menekankan telah menginstruksikan Dinas Perdagangan untuk memperkuat pendekatan pelayanan, tanpa mengorbankan ketertiban administrasi.
“Mereka sampai jam dua malam. Capek, tertekan. Tapi tetap, sikap tidak boleh keras. Pelayanan publik harus humanis,” tegasnya. (lis)







