BONTANG – Nonton bareng dan diskusi (Nobardis) film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak menandai perayaan Hari Perempuan Internasional (IWD) 2020 di Bontang, Kaltim. Nobardis yang dimotori Forum Jurnalis Bontang (FJB) ini dihelat sederhana di Kedai Kopi Balada, Jalan KS Tubun, Tanjung Laut, Bontang Selatan, Senin (08/03) malam.
Pemilihan film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak bukan tanpa alasan. Film yang mengusung genre thriller ini dipilih panitia lantaran dinilai cukup menggambarkan bagaimana tindak represi terhadap perempuan masih demikian kental di Indonesia.
Perempuan masih diperlakukan sebagai objek pemuas seksual laki-laki. Diperlakukan laiknya barang, yang bisa dimiliki, dan diatur sesuka hati. Pun tak punya daya untuk melawan lantaran kuatkan tekanan budaya patriarki.
Hal ini tergambar dari adegan-adegan ritmis yang tertuang dalam film karya Mouly Surya ini. Misalnya ketika secara sepihak para laki-laki di film ini, yang jumlahnya 7 orang, merasa berhak meniduri Marina tanpa persetujuan. Ketika Marlina menolak, salah seorang dari laki-laki itu malah bilang “Kau adalah perempuan paling berbahagia malam ini.”
“Walaupun penggambaran di film ini kental betul soal kekerasan seksual terhadap perempuan. Tapi pesan yang ingin kami sampaikan melalui pemutaran film ini sebenarnya sederhana. Kami mau mengajak masyarakat untuk menghentikan semua jenis kekerasan seksual berbasis gender,” beber Sulaiman, koordinator kegiatan.
Nobardis ini sebagian besar diikuti anggota FJB. Namun ada juga perwakilan organisasi kemahasiswaan, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), serta pengunjung Kopi Balada.
Usai pemutaran film, dilanjut diskusi yang dipandu dosen program studi Pembangunan Sosial, Universitas Mulawarman, Sri Murlianti.
Sebelum memantik jalannya diskusi, Sri Murlianti kembali menekankan, di beberapa wilayah di Indonesia, represi berbasis gender masih sangat kuat mengkar. Itu membudaya, membuat pelaku merasa tindakannya tidak salah. Sementara korban tidak tahu apa mesti diperbuat. Untuk bicara saja sulit, apalagi melawan atau mencari perlindungan hukum.
“Patriarki itu jenis kelamin sosial, bukan biologis. Karena sudah demikian mapan, jadi agak sulit memang untuk melawan apalagi membongkarnya,” kata Sri di hadapan audiens.
Secara ringkas dia bilang, budaya patriarki ialah sistem yang menempatkan laki-laki dan perempuan dalam oposisi biner. Laki-laki posisi superior, memiliki kekuatan untuk menindas, dapat memiliki. Sementara perempuan di sisi sebaliknya, inferior, tidak punya kuasa, tidak mampu melawan, dan dapat dimiliki laiknya barang.
Dengan posisi mapan budaya patriarki, maka untuk menghentikan kekerasan seksual berbasis gender, khususnya kepada perempuan memang bukan perkara mudah. Untuk mengantikannya, ujar Sri, harus dimulai dengan membicarakan, mendiskusikan, menyuarakannya. Agar para pelaku sadar bila tindakan tersebut salah dan harus diubah. Karena budaya adalah sesuatu yang turun temurun, dibutuhkan proses panjang untuk membongkarnya. Disuarakan, dibicarakan, bagian dari upaya membangun kesadaran baru. Dari kesadaran itu diharapkan timbul aksi nyata untuk menghentikan kekerasan seksual berbasis gender.
“Saya kira acara seperti ini bagus sekali. Untuk menghadirkan kesadaran baru, kita memang harus sering-sering menyuarakannya,” tandasnya. (Esc)