BERI.ID – Gerai ritel modern seperti Indomaret dan Alfamart di berbagai sudut Samarinda diadukan Ketua Persatuan Pedagang Sembako dan Minyak (P2SM), melakukan pelanggaran terhadap ketentuan jarak minimal 500 meter dan jam buka yang semestinya tidak melebihi pukul 23.00 WITA, terlebih sejumlah minimarket diketahui tetap beroperasi 24 jam.
Persoalan juga terletak di Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 9 Tahun 2015 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Rakyat, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Swalayan, yang sudah tidak relevan dengan situasi saat ini.
Hampir 90 persen peraturan di atasnya sudah dicabut atau berubah.
Akibatnya, pengendalian izin jadi sulit karena dasar hukumnya sudah tidak sinkron.
Kekosongan hukum tersebut muncul setelah terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 23 Tahun 2021 dan perubahan melalui Permendag Nomor 18 Tahun 2022, yang memberikan mandat kepada pemerintah daerah untuk menetapkan zonasi ritel modern.
Sayangnya, Pemkot Samarinda belum menindaklanjuti dengan pembaruan Perwali, sehingga daerah kehilangan kendali penuh terhadap penerbitan izin.
“Permendag sudah memberi ruang bagi daerah untuk mengatur jarak antar gerai, tapi belum ada aturan turunannya. Harusnya ada pembahasan lintas dinas, seperti dengan Dinas Perdagangan dan PUPR bidang tata ruang,” ungkap Pejabat Fungsional Penata Perizinan Ahli Madya Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Samarinda Chairuddin, Senin (10/11/2025).
Kelemahan regulasi ini semakin terasa sejak sistem perizinan daring Online Single Submission (OSS) diberlakukan sekitar 2018–2020.
Melalui OSS, izin usaha untuk toko swalayan dengan klasifikasi KBLI 47111, bisa terbit otomatis karena dikategorikan sebagai usaha mikro kecil (UMK) berisiko rendah.
“Kalau lima hari tidak ditindaklanjuti, sistem otomatis menerbitkan izin. Itulah sebabnya muncul 328 izin ritel baru antara 2021 sampai 2025. Ini bukan karena pemerintah ingin membiarkan, tapi karena sistem bekerja otomatis di tengah kekosongan aturan daerah,” jelas Chairuddin.
Kondisi ini disebutnya sebagai “celah hukum” yang menyebabkan ekspansi ritel modern tak terkendali.
Dulu, ketika Perwali 9/2015 masih berlaku penuh, laju pertumbuhan gerai bisa dikendalikan karena aturan jarak masih diterapkan secara ketat.
“Dulu ritel modern tumbuh terkendali. Tapi sejak regulasi pusat berubah dan daerah tidak segera menyesuaikan, gerai bermunculan di mana-mana, bahkan dalam satu radius bisa tiga sampai empat toko,” paparnya.
Chairuddin menegaskan, langkah paling mendesak yang harus diambil Pemkot Samarinda adalah memperbarui Perwali sesuai Permendag terbaru.
Jika tidak segera dilakukan, potensi lonjakan izin baru akan semakin besar.
“Kalau pembaruan tidak cepat dilakukan, masih ada 500-an izin lain yang bisa terbit otomatis. Itu akan memperparah ketimpangan antara ritel modern dan pedagang tradisional,” ujarnya.
Chairuddin juga telah menyarankan agar revisi Perwali digarap segera dengan melibatkan Dinas Perdagangan dan PUPR.
Sinergi ini, katanya, penting agar penataan zonasi bisa masuk ke Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan menjadi dasar pengendalian ritel di masa depan.
“Penataan ini tidak bisa sektoral. Harus masuk dalam tata ruang kota supaya nanti tidak ada lagi tumpang tindih antara kepentingan usaha dan keberlanjutan ekonomi rakyat,” tandasnya. (lis)







