Pinjaman Kopdes Merah Putih hingga Rp 3 Miliar, Pengurus di Samarinda Sebut Juknis Belum Turun 

Potret Koperasi merah putih lempake, Gedung Aula Jalan Magelang RT 19 Kelurahan Lempake, Kecamatan Samarinda Utara. (Foto: Lisa/ beri.id)

BERI.ID – Sekretaris Koperasi Merah Putih (KMP) Lempake, Muhammad Habibi menyatakan bahwa janji plafon pinjaman hingga Rp3 miliar yang menyertai program Koperasi Merah Putih (KMP) masih tak semulus yang dibayangkan.

Untuk diketahui, kebijakan baru melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025, memberi kesempatan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih mengajukan pinjaman bank hingga Rp3 miliar.

Di Kelurahan Lempake, Samarinda Utara, koperasi yang menjadi percontohan ini masih berproses, sekaligus menghadapi kenyataan modal seret, stok terbatas, dan tagihan yang membengkak.

Meski mendapat dukungan dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Pemkot Samarinda, sejak diresmikan 21 Juli lalu, pengurus mengaku masih terseok-seok.

“Dari awal yang disampaikan plafon Rp3 miliar, tapi jangan salah paham. Itu bukan hibah, itu pinjaman. Ada bunganya, ada kewajiban bayar. Jadi bukan uang gratis,” jelas Habibi kepada pewarta media ini saat ditemui di KMP Lempake, Jumat (1/8/2025).

Dilanjutkan Habibi, janji plafon Rp3 miliar berisiko menjerumuskan koperasi jika tidak ada kejelasan mekanisme.

“Faktanya plafon itu hanya batas pinjaman, bukan bantuan. Kami ingin mendukung program presiden, tapi jangan sampai jadi beban yang menjatuhkan,” tegasnya.

Ia menambahkan, program ini semestinya memberi solusi nyata, bukan menambah kebingungan.

“Saya sudah koodinasi ke bank, tapi katanya masih menunggu juknis dari pusat,” ucapnya.

Ketiadaan petunjuk teknis (juknis) membuat pengurus bingung. Pinjaman yang dijanjikan justru masih terikat pola lama seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang mensyaratkan agunan.

“Sekarang kalau kami mau pinjam, tetap pakai sistem reguler. Ditanya soal agunan, ya bingung. Apa yang mau diagunkan? Kalau tiba-tiba ketua berhenti, siapa yang tanggung jawab? Ini masalah serius,” ujarnya.

Lebih lanjut, ditegaskannya, skema khusus apabila koperasi gagal membayar pinjaman juga masih belum jelas.

Di desa, koperasi masih punya sumber dana tambahan dari Dana Desa (DD), Alokasi Dana Desa (ADD), dan BUMDes. Namun di kelurahan seperti Lempake, sumber dana alternatif nyaris tidak ada.

“Kalau koperasi desa bisa pakai DD atau ADD sebagai penyangga. Tapi koperasi kelurahan seperti kami, dari mana? Tidak ada sumber lain. Ini yang membuat beban kami jauh lebih berat,” jelas Habibi.

Ia menilai, kondisi ini berpotensi menciptakan masalah serius jika tidak segera dibenahi.

“Kalau nanti gagal bayar, dampaknya bukan hanya ke koperasi, tapi juga ke masyarakat yang sudah percaya. Ini bukan soal uang saja, tapi soal nama baik daerah,” tegasnya.

KMP Lempake kini menunggu kepastian dari pemerintah pusat, khususnya soal juknis yang dijanjikan akan keluar sebelum 28 Oktober 2025.

Hingga saat itu tiba, pengurus dan anggota hanya bisa bertahan dengan modal terbatas dan semangat gotong royong.

“Program ini bagus, niatnya mulia. Tapi tanpa kejelasan, koperasi bisa jadi sekadar simbol, bukan solusi. Kami berharap, sebelum tanggal 28 Oktober, pemerintah pusat benar-benar turun tangan, bukan hanya memberi plafon yang membingungkan,” beber Habibi.

Meski serba terbatas, Habibi mengakui koperasi di Lempake mendapat perhatian dari Pemprov Kaltim dan Pemkot Samarinda.

“Syukurnya, kami didukung penuh oleh Dinas Koperasi Kaltim, juga Pak Wali Kota langsung hadir saat peresmian. Tapi bagaimanapun, anggaran kota terbagi untuk banyak sektor. Jadi dukungan yang ada tidak bisa menutup semua kebutuhan kami,” jelasnya.

Salah satu contoh dukungan adalah suplai beras dari Bulog melalui Pemprov Kaltim. Namun, konsinyasi itu hanya terjadi sekali.

“Stok pertama habis, setelah itu tidak ada lagi. Padahal masyarakat sudah menunggu. Kalau begini terus, lama-lama kepercayaan warga bisa turun,” kata Habibi.

Di sisi lain, warga Mugirejo, Muhammadin, yang sedang berkunjung mengaku tetap antusias berbelanja dan menjadi anggota KMP.

“Seperti beras, memang membantu. Walaupun cuma dapat sekitar 10 kilo, tapi harganya jauh lebih murah. Di luar sudah Rp375 ribu per karung, di sini cuma Rp65 ribu untuk lima kilo. Meski agak keras, tetap banyak yang cari,” jelasnya.

Ia menilai wajar bila koperasi masih terlihat semrawut, terlebih kondisi KMP terhitung masih merintis, untuk itu dirinya maklum.

“Ada kelebihan, ada kekurangan. Saya tetap dukung,” tutupnya. (lis)