SAMARINDA – PT Sendawar Adhi Karya (SAK) mulai memberhentikan sekitar 75 persen para pekerjanya sejak setahun lalu. Karena tak mempunyai dana lagi untuk operasional.
Kepala Bagian Administrasi dan Humas PT SAK, Ahmar Anas, mengungkapkan aktifitas perusahaan kini terhenti. Meskipun telah kantongi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dari Hutan Tanaman Industri (HTI). Tapi Mereka tidak bisa mengeluarkan kayunya dari hutan.
Masalahnya karena tidak mendapat izin Tempat Penampungan Terdaftar Kayu Bulat (TPT – KB) ANTARA dan surat rekomendasi Pemanfaatan Garis Pantai (sungai) dari KSOP Samarinda di Kampung Linggang Muyub Ilir, Kecamatan Tering, Kabupaten Kutai Barat. Akibatnya, dua tahun berlalu masa panen, mereka tidak bisa beroperasi.
“PT SAK terancam rugi besar. Sudah dua tahun lebih tidak bisa mengeluarkan kayu dari hutan,”kata Ahmad Anas pada Sabtu (13/11/2021).
“Kalau kayu di HTI itu kita panen/tebang, tapi tidak bisa dikeluarkan dari lokasi kan bisa membusuk kayunya,”ungkapnya lagi.
Ahmer menegaskan, urusan izin TPT-KB Antara dari Dishut Kaltim dan rekomendasi dari KSOP Samarinda, tak selesai-selasai, malahan tambah rumit. Karena petugas dari kedua instansi tersebut tidak mau turun ke lapangan, memeriksa titik koordinat tempat yang digunakan PT SAK menempatkan kayu sebelum dinaikkan ke ponton atau kapal.
“Kalau kedua instansi tersebut menugaskan pegawainya melakukan pemeriksaan lapangan, sebetulnya izin dari Dishut dan rekom dari KSOP sudah selesai sejak setahun lalu,” pungkas Ahmer.
- PT SAK Merasa Ijin Dipersulit
Ahmad Anas mempertanyakan kenapa proses pengajuan rekomendasi dipersulit dalam proses perijinannya. Sedangkan syarat yang diminta KSOP sudah terpenuhi dengan adanya kesepakatan menyangkut lahan.
Menurut Ahmad Anas syarat lahan yang diminta KSOP tidak subtansi. Karena surat dari Dirjen perhubungan laut yang menjawab surat mereka hanya mensyaratkan dua hal, yaitu ijin TBK antara dan ijin lingkungan.
“Kenapa ada syarat tambahan yang diminta KSOP Samarinda, knapa tidak konsisten apa yang dikatakan,”herannya.
Menurut Ahmer, rekomendasi dan izin yang diperlukan perusahaannya baru akan diproses apabila sengketa lahan sudah kelar. Padahal kata dia kedua pemilik lahan tidak bersengketa, yaitu antara Suryanto dengan Mardani berdasarkan putusan pengadilan.
“Log pond dan TPK Antara PT SAK menggunakan lahan yang disewa dari Suryanto. Sedangkan PT Tering Indah Jaya (TIJ) membangun TPT-KB (Tempat Penampungan Terdaftar Kayu Bulat (TPT-KB) di lahan yang disewanya dari Mardani. Antara Suryanto dengan Mardani tidak ada sengketa lahan,” ungkapnya.
Dari itu, tidak tepat KSOP tidak memproses permohonan rekomendasi Pemanfaatan Garis Pantai sebagai dasar mengurus IPGP ke Kementerian Perhubungan dan Dishut Kaltim tidak menerbitkan izin TPK Antara untuk PT SAK dengan alasan ada sengketa lahan.
Lahan yang akan dipakai PT SAK dan PT TIJ memang dalam satu hamparan, tapi pemiliknya sebagian Suryanto dan sebagian lagi Mardani. Lahan kedua orang itu bersebelahan dan keduanya tak bersengketa.
Lahan yang disewa PT SAK dari Suryanto untuk TPK Antara pada Latitude : 00 3’13.36”S dan Longitude : 1150 44’55.56”E. Sedangkan lahan yang disewa PT TIJ untuk TPT-KB pada Latitude: 003’17.56”S dan Longitude : 115044’53.63”E.
“Jadi tidak masuk akal KSOP da Dishut Kaltim meminta PT SAK menyelesaikan dulu sengketa lahan, baru rekomendasi untuk mendapat izin IPGP diproses, karena, baik itu PT SAK maupun PT TIJ status sama-sama penyewa, kemudian antara Suryanto dengan Mardani tidak ada sengketa,” ujar Ahmer.
- Potensi Kerugian Negara Hingga Rp 200 Miliar
Atas rumitnya ijin Pemanfaatan Garis Pantai (sungai) oleh PT SAK, negara berpotensi kehilangan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) Sektor Kehutanan kurang lebih Rp200 miliar.
Menurut Ahmar, potensi kerugian negara dengan asumsi. Jumlah kayu dari HTI seluas 11.000 hektar. Saat ini tidak bisa keluar atau diperdagangkan.
Hasil analisis mereka, dari luas itu dan telah masuk masa panen sejak dua tahun lalu, kurang lebih sekitar 500.000 m3.
“Kalau dihitung, jumlahnya, 500.000 m3 x Rp400.000 =Rp200 miliar. Selain negara kehilangan PNPB, Pemkab Kutai Barat juga kehilangan potensi menerima DBH (Dana Bagi Hasil) Sumber Daya Hutan yang disetor PT SAK,” papar Ahmer.
Menurut Ahmer terhentinya operasi PT SAK, karena tak rekom dan izin, sebagai bukti instansi pemerintah di daerah mengabaikan atau tidak melaksanakan himbauan Presiden Joko Widodo agar tidak mempersulit izin bagi pengusaha yang mau berusaha.
“Kami sudah investasi besar membangun hutan tanaman industri (HTI) tapi pas waktunya kayu dipanen, izin kami dipersulit untuk mengeluarkan kayu dari hutan,” ujar Ahmer lagi.
Pihaknya mengancam akan mengadukan kepala KSOP Samarinda dan kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) ke Presiden, karena sama-sama telah mempersulit perusahaannya mendapatkan rekomendasi untuk mengurus Izin Pemanfaatan Garis Pantai (IPGP) dari Kementerian Perhubungan dan izin TPK (Tempat Penimbunan Kayu) Antara di Kampung Linggang Muyub Ilir, Kecamatan Tering, Kabupaten Kutai Barat.
“Apabila masalah yang kami hadapi sekarang ini tidak kunjung selesai, masalah ini tidak hanya kami adukan ke Presiden tapi juga ke Menteri Investasi, Menko Bidang Maritim dan Investasi, dan melaporkan ke Ombudsman RI. Baik Dishut Kaltim maupun KSOP Samarinda, sama-sama melakukan maladministrasi,”pungkasnya. (Fran)