Realita Koperasi Merah Putih di Samarinda: Klinik Terpaksa Tutup, Cold Storage Terkendala Dana

Setelah diresmikan (21/7) lalu, Klinik Koperasi Merah Putih terpantau tutup. (Foto: Lisa/ beri.id)

BERI.ID – Sekretaris Koperasi Merah Putih (KMP) Lempake, Muhammad Habibi blak-blakan soal peliknya realisasi KMP di Kota Tepian, khususnya di Kelurahan Lempake.

Salah satu tantangan besar terletak pada pengadaan cold storage atau ruang pendingin skala besar untuk menyimpan hasil pertanian dan perikanan.

Di Samarinda, proyek ini nyaris menemui jalan buntu.

Sebelumnya, dijelaskan Habibi, KMP di Lempake menjadi percontohan dan sudah meluncurkan beberapa unit layanan nyata seperti gerai sembako, pangkalan LPG, transfer dana, pupuk, apotek, klinik, hingga cold storage.

KMP juga hadir dengan misi besar memperkuat ekonomi desa dan memastikan kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi melalui sistem gotong royong modern.

Konsep ini juga digadang sebagai jawaban atas problem ketahanan pangan dan akses ekonomi di akar rumput.

Namun, idealisme tersebut berbenturan dengan kenyataan di lapangan, terutama soal biaya operasional dan keberlanjutan layanan.

“Harga satu unit cold storage ukuran standar paling murah Rp1,1 miliar rupiah. Pemprov saja tidak mampu membeli, apalagi desa. Pernah kami ajukan yang seharga 2,5 miliar ke dinas, tapi mereka tidak sanggup. Bayangkan kalau 59 kelurahan harus membeli, itu butuh 59 miliar. Dari mana dananya?” tegas Habibi, kepada pewarta media ini, saat ditemui, di Gedung Aula Jalan Magelang RT 19 Kelurahan Lempake Samarinda, Sabtu (2/8/2025).

Lanjutnya, memang desa masih memiliki tiga sumber pendanaan, Alokasi Dana Desa (ADD), Dana Desa (DD), dan pendapatan dari Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), tetapi kelurahan praktis hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) kota, yang sudah terserap habis untuk program lain.

Akibatnya, gagasan cold storage terancam hanya menjadi mandatori di atas kertas.

Habibi menambahkan, meski idenya bagus, konsep cold storage tidak serta merta cocok untuk diterapkan di Benua Etam.

“Logikanya, petani harus menyimpan hasil panen berbulan-bulan untuk menjaga harga tetap stabil. Tapi apakah mereka sanggup bayar sewa cold storage lima bulan berturut-turut? Sementara kebutuhan hidup mereka tidak bisa ditunda. Kebanyakan akhirnya memilih langsung menjual hasil panen ke pasar,” jelasnya.

Selain cold storage, rencana pendirian apotek dan klinik desa juga menghadapi kendala serius.

Standar Kementerian Kesehatan mewajibkan keberadaan minimal satu dokter umum dan satu apoteker di setiap unit layanan. Ini menimbulkan beban biaya tinggi yang sulit ditanggung koperasi.

“Apoteker itu spesialis, gajinya tidak kecil. Ditambah dokter umum yang jadwalnya padat, koperasi jelas kesulitan menanggungnya. Bahkan Kimia Farma sempat menarik beberapa obat karena khawatir kadaluarsa. Jadi sementara, klinik dan apotek masih kami pending,” beber Habibi.

Meski begitu, KMP tetap berusaha bergerak melalui unit layanan yang lebih realistis dijalankan, seperti gerai sembako, pupuk, LPG, serta layanan transfer dana.

Namun, agar tidak mematikan usaha warung tetangga, koperasi membatasi jam operasional.

“Awalnya kami buka seharian, tapi ada keluhan tetangga karena harga beras di koperasi lebih murah. Akhirnya, sekarang kami hanya buka jam 1 sampai jam 5 sore, supaya warung lain tetap hidup. Koperasi bukan untuk mematikan ekonomi tetangga, tapi menguatkan gotong royong,” ujarnya.

Habibi menegaskan, meski masih banyak tantangan, semangat gotong royong tetap menjadi landasan utama koperasi.

Ia berharap pemerintah pusat maupun daerah memberikan dukungan yang lebih terarah, bukan sekadar mandat yang sulit diwujudkan di lapangan.

“Kami butuh sinergi yang serius agar program ini tidak berhenti di konsep,” pungkasnya. (lis)