Refleksi 15 Tahun Bawaslu, Kontribusi Tegakkan Keadilan Pemilu

Silvester Sagor, Anggota Panwascam Barong Tongkok, Bawaslu Kutai Barat

Opini – Badan Pengawas Penyelenggara Pemilu sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah negara kesatuan republik Indonesia merupakan lembaga yang sangat penting dalam menjaga dan merawat demokrasi di negara kesatuan republik Indonesia.

Kehadiran lembaga penyelenggara pemilu seperti Bawaslu telah turut memberi kontribusi besar dalam mewujudkan keadilan pemilu selama satu setengah dekade terakhir.

Badan Pengawas Pemilu atau yang dikenal dengan sebutan Bawaslu kini telah memasuki usianya yang ke 15 tahun pada tanggal 9 April 2023. Kalau berkaca dari sisi usia Bawaslu masih terbilang sangat belia jika dianalogikan dengan organisme kehidupan manusia.

Dalam hal ini tujuan dan landasan hadirnya Bawaslu dalam upaya memberikan kontribusinya dalam mewujudkan tegakan keadilan pemilu dan keberadaan Bawaslu sangat vital untuk menciptakan suasana pemilu menjadi harmonis dan kedepankan keterbukaan informasi sebagai proses pemilu yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi pemilu.

Kenyantaannya kehadiran lembaga penyelenggara pemilu seperti Bawaslu telah turut memberi kontribusi besar dalam mewujudkan keadilan pemilu selama satu setengah dekade terakhir. Dalam proses sejaranya perdebatan tentang apakah Bawaslu diperkuat atau dibentuk sebagai lembaga ad hoc terjadi jelang Pemilu 2009.

Sekalipun perdebatan panjang terjadi, lembaga pengawas pemilu pertama kali dipermanenkan sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu yang menyatukan lembaga panitia pengawas pemilu dan lembaga panitia pengawas pemilihan menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwas Pemilu).

Undang-undang ini juga mengubah Pengawas Pemilu menjadi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga bersifat tetap di pusat. Sementara di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota masih bersifat ad hoc (sementara) dengan sebutan Panwas Pemilu Provinsi, Panwas Pemilu Kabupaten/Kota.

Dan Undang-Undang ini juga mengatur penambahan struktur pengawas pemilu di tingkat desa/kelurahan yang disebut dengan Pengawas Pemilu Lapangan (PPL).

Sedangkan terkait keanggotaan Bawaslu dan Panwas Pemilu tidak lagi diisi dari unsur Kepolisian, Kejaksaan, Perguruan Tinggi, Pers, dan Tokoh Masyarakat, tetapi keanggotaan Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwas Pemilu Kecamatan dan PPL terdiri atas kalangan masyarakat profesional yang memiliki kemampuan dalam memahami tentang pengawasan pemilu dan melakukan pengawasan pemilu dan tidak menjadi anggota partai politik.

Sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, paling tidak terdapat empat perubahan mendasar pada kelembagaan Pengawas Pemilu antara lain:

1. Penyatuan lembaga pengawas pemilu dengan tidak membedakan lembaga Pengawas Pemilu dan Lembaga Pengawas Pemilihan

2. Menetapkan lembaga pengawas pemilu di tingkat pusat menjadi lembaga permanen yang diberi nama Bawaslu; Penambahan struktur kelembagaan pengawas pemilu hingga tingkat desa/kelurahan yang diberi nama Pengawas Pemilu Lapangan (PPL); dan

3 Menetapkan jumlah keanggotaan Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang, Panwas Pemilu Provinsi berjumlah 3 (tiga) orang, Panwas Pemilu Kabupaten/Kota berjumlah 3 (tiga) orang, Panwas Pemilu Kecamatan berjumlah 3 (tiga) orang dan Pengawas Pemilu Lapangan berjumlah 1 (satu) orang setiap desa/kelurahan.

Seiring perkembangan penyelenggaraan pemilu dan pemilihan, maka pada tahun 2011, terjadi perubahan kelembagaan pengawas pemilu dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelanggara Pemilu di mana Panwas Pemilu Provinsi menjadi lembaga tetap dengan nama Bawaslu Provinsi dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi sebanyak 3 (tiga) orang.

Bawaslu Provinsi ketika itu baru dibentuk bulan September 2012, namun Panwas Pemilu Kabupaten/Kota masih bersifat ad hoc (sementara).

Jelang pemilu 2014, perdebatan soal apakah kelembagaan Bawaslu diperkuat atau dibentuk menjadi lembaga ad hoc kembali mencuat. Perdebatan tersebut tidak terlepas dari kinerja Bawaslu yang dinilai kurang efektif pada Pemilu 2009.

Sehingga upaya penguatan kelembagaan Bawaslu pada pemilu 2009 kembali berujung kegagalan. Menjelang Pemilu 2014, DPR membahas Rancangan Undang-Undang Penyelanggaraan Pemilu. Pada pembahasan itu lagi-lagi memunculkan dua kutub wacana perihal status Bawaslu:

Pertama, kedudukan Bawaslu bukan merupakan subordinasi KPU tetapi kedudukannya harus setara dengan KPU. Kedudukan Bawaslu harus bersifat permanen. Kedudukan Bawaslu dianggap penting untuk diperkuat eksistensinya, karena dengan menguatnya Bawaslu, maka akan tercipta pengawasan yang melekat kepada penyelenggaraan pemilu.

Alternatif kedua, berpijak pada argumentasi bahwa kedudukan Bawaslu adalah bagian dari KPU dan struktur Bawaslu tidak bersifat permanen melainkan ad hoc. Pendapat tersebut merujuk pada UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945 yang memang mengatur KPU sebagai penyelenggara pemilu, sedangkan Bawaslu adalah badan yang integral dari penyelenggaraan pemilu.

Oleh sebab itu, tidak mungkin bagi Bawaslu setara atau bahkan melampaui kewenangan KPU yang pembentukannya telah diamanatkan oleh UUD NRI 1945.

Berikutnya Pansus yang mendukung alternatif ini juga menganggap menjadikan Bawaslu sebagai lembaga permanen adalah hal yang tidak realistis, karena memiliki konsekuensi anggaran yang besar, di sisi lain kinerjanya dinilai tidak maksimal dari pemilu ke pemilu (Fritz Edward Siregar, 2019:42-43). Setelah melewati perdebatan yang panjang dalam Pansus RUU Penyelenggara Pemilu, keputusan politik yang dihasilkan oleh Pansus DPR cukup mengejutkan.

Keputusan politik tersebut tidak saja telah berhasil mempertahankan bentuk Bawaslu yang permanen, lebih dari itu, Pansus RUU Penyelenggara Pemilu juga semakin memperkuat kelembagaan Bawaslu. Upaya untuk memperkuat Bawaslu masuk pada babak selanjutnya, yakni setelah berhasil menjadi lembaga permanen dan mandiri di tingkat nasional.

Pada saat menjelang pemilu 2014 Bawaslu menjadi semakin kuat dengan diperkuatnya Panwas Pemilu Provinsi yang pada awalnya bersifat ad hoc menjadi permanen sehingga Panwaslu Provinsi berubah menjadi Bawaslu Provinsi.

Menjelang Pemilu 2019, berbagai tuntutan soal kelembagaan pengawas pemilu semakin kencang ditiupkan mengingat semakin banyaknya beban kerja dan semakin dibutuhkannya kelembagaan pengawas pemilu yang semakin kuat seiring perkembangan zaman.

Oleh sebab itu, lahirnya undang-undang baru yaitu undang-undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu pun lahir dan menetapkan Panwas Pemilu Kabupaten/Kota menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota yang bersifat permanen. Maka dengan demikian, secara kelembagaan, Pengawas Pemilu sama dengan Komisi Pemilihan Umum yang memiliki lembaga permanen hingga kabupaten/kota.

Undang-Undang 7 Tahun 2017 ini merupakan hasil kodifikasi 3 (tiga) Undang-Undang yaitu Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota serta Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam penyelenggaraan Pemilihan tahun 2020, lembaga Bawaslu Kabupaten/Kota dipersoalkan legitimasinya, karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur Wakil Gubernur, Bupati Wakil Bupati dan Wali Kota Wakil Wali Kota Menjadi Undang-Undang, penyebutan Panwas Pemilu di Kabupaten/Kota masih menggunakan istilah Panwas Pemilu Kabupaten/Kota bukan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana diatur di Undang-Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.

Atas dasar polemik itu, maka beberapa Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengubah Nomenklatur Panwas Pemilu Kabupaten/Kota menjadi Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota sebagaimana diatur di Undang-Undang 7 Tahun 2017.

Menjawab permohonan sejumlah Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota, Mahkamah Konstitusi pun mengeluarkan putusan Nomor 48/PUU-XVII/2019 per tanggal 29 Januari 2020, yang pada pokoknya mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan frasa “Panwas Pemilu Kabupaten/Kota” pada 45 Pasal di Undang-Undang 10 Tahun 2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Bawaslu Kabupaten/Kota”.

Demikian pun halnya pengaturan Pasal 23 dan pasal 24 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur hal kewenangan pengawasan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota oleh Panwaslu Kabupaten Kota, jumlah personel dan jangka waktu pembentukan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka tuntas sudah polemik keberadaan Panwaslu Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pemilihan menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota, maka tugas dan wewenang Bawaslu Kabupaten/Kota juga mencakup tugas melakukan pengawasan untuk penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka Nomenklatur Panwaslu Kabupaten/Kota pada Undang-Undang 10 Tahun 2016 menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota.

Selain itu, Undang-Undang 7 Tahun 2017 tidak hanya menetapkan Bawaslu Kabupaten/Kota menjadi lembaga permanen, tetapi juga mengubah struktur kelembagaan dan jumlah keanggotaan Bawaslu Provinsi yang semula 3 orang menjadi 5 atau 7 orang dan keanggotaan Bawaslu Kabupaten/Kota yang semula 3 orang menjadi 3 sampai 5 orang.

Struktur kelembagaan pengawas pemilu sampai dengan tingkat TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang disebut pengawas TPS, di mana di setiap TPS terdapat 1 orang pengawas TPS. Jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota tersebut termuat dalam Lampiran II Undang-Undang 7 Tahun 2017.

Penguatan kelembagaan Bawaslu juga berbanding lurus dengan penguatan kewenangan Bawaslu, salah satunya kewenangan untuk menangani penyelesaian Sengketa Proses Pemilu.

Bahkan dalam Undang-Undang 7 Tahun 2017, Bawaslu mempunyai kewenangan lebih karena memiliki produk berupa putusan, di mana terhadap Putusan yang dikeluarkan Bawaslu, wajib sifatnya bagi KPU untuk menindaklanjutinya. Kewajiban KPU untuk menindaklanjuti putusan Bawaslu menjadi pertanda bahwa negara percaya pada kinerja Bawaslu karena lembaga ini memiliki data-data hasil pengawasan, sehingga bisa menjadi referensi yang kuat dalam membuat putusan pengawasan dan penindakan menjadi hubungan yang tidak terpisahkan dari kerja-kerja yang dilakukan Bawaslu.

Kewenangan semacam itu membuat Bawaslu menjadi institusi yang memiliki kewenangan lengkap karena selain memiliki kewenangan pengawasan, Bawaslu juga memiliki kewenangan penindakan, bahkan sekaligus “mengadili”. Belum ada lembaga lain dalam ketatanegaraan Indonesia yang mempunyai kekuatan seperti itu.

Bahkan institusi peradilan saja yang berkewenangan membuat putusan (mengadili), tidak diberi kewenangan melakukan pengawasan karena sifat peradilan adalah pasif, yang artinya menunggu perkara masuk. Sementara, Bawaslu diberi kewenangan lebih oleh Undang-Undang Pemilu untuk aktif melakukan pengawasan, di mana hasil pengawasan itu juga bisa digunakan sebagai temuan yang nantinya bisa ditindaklanjuti dengan penindakan (M. Afifuddin, 2020:10-11).

Bawaslu saat ini telah melewati ruang dan waktu yang cukup panjang yang membuatnya semakin matang sebagai suatu lembaga yang berfungsi menyelenggarakan pemilu di bidang pengawasan.

Kewenangan Bawaslu yang mampu mendiskualifikasi calon terpilih apabila terbukti curang, diharapkan menjadi tanda berakhirnya kegalauan pengawasan pemilu yang selama ini ada. Secara kelembagaan lembaga pengawas pemilu mengalami tren penguatan dari masa ke masa.

Karena itu, di usia Bawaslu yang ke 15, saya ingin mengajak semua pihak agar terus mendukung Bawaslu untuk terus bekerja mewujudkan keadilan Pemilu di tanah air tercinta Indonesia. “Bersama rakyat awasi pemilu, bersama Bawaslu tegakkan keadilan pemilu”.

kpukukarads