BERI.ID – Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Samarinda, sebagai lembaga penegak perda dinilai hanya berani menindak pelaku kecil di lapangan seperti pedagang kaki lima (PKL), tetapi tidak menyentuh pelanggaran berskala besar seperti menjamurnya ritel modern tanpa izin.
Sekretaris Komisi II DPRD Samarinda, Rusdi Doviyanto, mengatakan hal tersebut dan menilai kinerja Satpol PP selama ini seperti “tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.”
Pola penegakan perda yang hanya menyasar pedagang kecil menciptakan kesan diskriminatif dan jauh dari semangat keadilan.
“Tahun ini mereka memang menargetkan penegakan 13 perda, tapi di lapangan yang tertib selalu pedagang-pedagang kecil,” bebernya, Selasa (11/11/2025).
Rusdi menambahkan, meskipun Satpol PP memang tidak bertugas memberikan solusi teknis terhadap pelanggaran, seharusnya mereka tetap bisa bergerak proaktif dengan koordinasi lintas OPD.
Ia bahkan menegur Kepala Satpol PP agar tidak hanya menunggu perintah atau laporan dari pihak lain.
“Bu Anis jangan menunggu bola. Data pelanggaran itu kan sudah ada di tangan Satpol PP. Jangan tunggu viral dulu baru bergerak,” ucapnya.
Nada senada disampaikan Ketua Komisi II DPRD Samarinda, Iswandi, yang menilai ketimpangan penegakan perda sudah terlalu lama terjadi.
Ia menilai, Satpol PP tampak begitu cepat menertibkan PKL, namun menutup mata terhadap “gajah” besar seperti ritel modern tak berizin yang kini menjamur di berbagai sudut kota.
“Satpol PP sering kali menindak pedagang kecil, tapi gajah di depan mata tidak terlihat. Ritel-ritel besar berdiri tanpa izin, tanpa pengawasan ketat, dan itu justru dibiarkan,” tegasnya.
Menanggapi kritik tersebut, Kepala Satpol PP Kota Samarinda, Anis Siswantini, menyatakan pihaknya hanya bekerja sesuai kewenangan.
Ia mengakui, Satpol PP memang tidak bisa langsung menindak semua pelanggaran karena keterbatasan sumber daya dan regulasi.
“Perda di Samarinda ada 990. Dari jumlah itu, kami hanya bisa menegakkan 13 perda yang masuk dalam sapujagat trantibum. Kalau ada yang bilang kami tidak bertindak terhadap pelanggaran besar, ya karena memang kami belum dilibatkan,” ujar Anis.
Anis menyebut, tugas Satpol PP sebagai penegak perda diatur ketat dalam Permendagri Nomor 26 Tahun 2020, tentang penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum.
Ia menegaskan pihaknya bukan lembaga yang memberi solusi, tetapi pelaksana teknis di garda terakhir penegakan aturan.
“Satpol PP itu bukan pemberi solusi, kami penegak perda. Kalau kami tidak terjangkau oleh regulasi, tidak bisa langsung action. Tapi kalau diajak berkolaborasi, kami siap. Kami ini garda terakhir,” katanya.
Ia juga menyinggung kondisi personel Satpol PP yang sangat terbatas dibandingkan luas wilayah dan jumlah pelanggaran yang terus meningkat.
“Penduduk Samarinda 861 ribu jiwa, tapi penyidik kami cuma enam orang. Pelanggaran makin hari makin banyak. Jangan sampai kami hanya dikenal sebagai eksekutor. Kalau begitu, malah bertentangan dengan cita-cita Pak Prabowo soal penghapusan kemiskinan ekstrem, karena kami justru memiskinkan rakyat kecil,” ucap Anis.
Namun demikian, Anis tidak menampik bahwa kolaborasi dengan OPD teknis sangat diperlukan agar penegakan perda lebih merata dan adil, termasuk terhadap pelanggaran oleh pengusaha besar.
Ia mengakui, sejauh ini Satpol PP baru bisa bertindak jika mendapat laporan resmi dari OPD pemilik kewenangan teknis.
“Kalau ada gajah-gajah besar yang tidak terlihat, ya tolong sampaikan ke kami. Karena kami tidak tahu mana pengusaha yang tidak bayar pajak atau mana ritel yang melanggar izin kalau tidak diberi tahu. Kami ini jalan kalau diajak kolaborasi,” jelasnya.
Ia menegaskan penindakan terhadap pelanggaran besar tetap bisa dilakukan jika semua pihak terkait bergerak bersama.
“Contohnya, kami tidak tahu mana wajib pajak yang belum bayar. Itu ranah Bapenda. Jadi, kalau kami tidak diberi informasi, ya tidak bisa langsung menindak. Begitu juga dengan pelanggaran perizinan, harus ada rekomendasi dari OPD teknis. Kalau sudah ada dasar hukumnya, kami siap turun,” pungkasnya. (lis)







