Sebagian Petani di Betapus Banting Setir Jadi Buruh Bangunan

Sawah Jalan Usaha Tani Betapus Samarinda. ©Jifran/beri.id
Sawah Jalan Usaha Tani Betapus Samarinda. ©Jifran/beri.id

SAMARINDA – Suryani (43) salah seorang Petani di jalan Giri Rejo Blimau Kelurahan Lempake, Samarinda Utara, hanya bisa pasrah melihat benih padi yang siap tanam untuk satu hektar lahan miliknya terendam air.

Benih padi tersebut dipastikan rusak, tidak bisa lagi ditanam. Tak ada pilihan lain, mereka harus kembali menyemai benih, sementara mereka tak ada lagi bibit.

Saat masa panen tiba, mereka simpan gabah kemudian disemai jadi benih. Namun harapan itu sirnah setelah semua benih padi itu direndam banjir.

“Ini bibit gak bisa lagi dipake, batangnya sudah busuk, iya gagal tanam,”kata Suryani saat ditemui diarea sawahnya, Sabtu (04/09/2021).

Selain itu, tanaman sayur seperti Terong, tomat juga Kangkung harus dipanen lebih awal, meski belum menginjak usia matang.

“Sayur juga sangat terdampak, karena karena belum waktunya panen harus dipanen, karena terendam, kalau gak di panen iya jelek, daunya kuning kan rusak daunya. Kalau rusak kan gak laku, gak mau orang ambil, daripada rusak kita panen lebih awal,”

Pada hari normal, untuk tanaman kangkung, biasanya dalam satu ikat cuman dua puluh batang. Karena dipanen lebih awal, bisa mencapai lima puluh batang untuk satu ikatnya.

Kerugian Suryani ditaksir hingga dua kali lipat. Apalagi untuk akses permodalan semua pinjam. Mulai dari bibit, pupuk, obat-obatan.

“Nanti hasilnya separuh bayar utang, separuh dikasih buat belanja hari-hari. Kemudian begitu terus berputar, tapi kalau kondisi kaya gini, gak tau nantinya, gimana lagi mau kembalikan modal,”ungkapnya.

Kejadian seperti ini merupakan kedua kalinya dalam periodik 2021. Terjadi berturut-turut ketika masa tanam tiba.

Selain Suryani juga dialami 250 petani lain dari 9 kelompok tani di daerah yang akrab di kenal dengan jalan Betapus ini.

Sahar, pembina dari 9 kelompok tani ini bilang setiap kelompok tani itu rata-rata punya luas lahan sekitar 25 hektar. Sebagian diantaranya sudah mulai tanam, hasilnya dipastikan gagal total.

“Air ini tidak mungkin sehari dua hari surut, berminggu-minggu, sementara kalau tanaman padi ini, jika sudah terendam sampe tujuh hari busuk,”terangnya.

“Pertanyaannya kalau sudah surut mau diapain, kalau gak ditanam iya sayang, tapi kalau di tanam, masyarakat punya bibit gak,”sambungnya lagi.

Total kerugian mereka ditaksir hingga Rp 1,2 Miliar. Dengan asumsi per hektar untuk olah tanam habis sekitar Rp 5 juta rupiah,

Sahar menjelaskan, dalam analisa usah tani itu, mulai dari tanam sampe panen itu sekitar Rp 10 juta.

“Dalam setahun sejak awal 2021 kita sudah dua kali tanam, dua musim ini kita gagal,”terangnya.

Para petani tak punya pilihan lain, pengalaman dua kali gagal tanam hingga panen ini membuat mereka harus banting setir untuk bertahan hidup.

Sebagian diantaranya, para petani lari di lahan-lahan kering. Disana mereka manfaatkan tanam jagung. Tak sedikit justru pindah jadi kuli bangunan.

“Sekitar 50 persen meninggalkan pertanian karena keadaan, jadi buruh-buruh bangun, rata-ratanya begitu, untuk makan sehari-hari,”paparnya.

Sahar mengaku, kondisi banjir dalam setahun ini merupakan yang terparah dari sebelumnya.

Menurutnya selain karena curah hujan yang tinggi, dipastikan banjir ini terjadi karena pengupasan lahan hingga pertambangan pada area resapan air dari hulu sungai.

Jika hal seperti ini tak ada perhatian, Sahar prediksi, selain waduk Benanga, sawah di Betapus ini bakal jadi waduk ke dua.

“Saya pastikan itu, kedepan bakal jadi waduk kedua, bukan lagi sawah seperti ini,”tutupnya. (Fran)