Sebelum Longsor Di Sanga-Sanga, Warga Sudah Sempat Berikan Peringatan

SAMARINDA – Warga Sanga Sanga kecewa dengan lambatnya sikap pemerintah menangani persoalan tambang yang beroperasi di sekitar pemukiman mereka.

Sebelum peristiwa longsor yang menenggelamkan 6 buah rumah pada (30/11) lalu dan terputusnya arus lalu lintas dari Kecamatan Sanga-Sanga menuju Kecamatan Muara Jawa. Masyarakat setempat sudah mengingatkan pemerintah untuk melakukan mediasi.

Melalui surat bernomor: 02/FKP-MSPL/Tunt-/VIII/3018 oleh Forum komunikasi pembangunan masyarakat Sanga Sanga peduli lingkungan (FKP-MSPL) perihal tindakan tegas atas adanya pelangaran regulasi bidang pertambangan batubara oleh PT. Adimitra Baratama Nusantara.

Namun surat tertanggal 24 Agustus 2018 itu tidak diindahkan, Harun koordinator FKP-MSPL menegaskan bahwa surat itu merupakan bentuk antisipasi, pasalnya mereka sudah memperkirakan dengan terus beroperasinya tambang postur tanah itu akan terjadi longsor.

“Kita sudah perkirakan makanya kita surati, surat itu kita tujukan ke beberapa instansi terkait termasuk Dinas Lingkungan Hidup Provinsi dan Kabupaten Tengarong, Dinas ESDM provinsi, tapi hasilnya tidak ada yang peduli,” ucapnya, pada Jumat (30/11/18) waktu sore.

Dirinya menyebut jika hal itu direspon dimungkin akan dikaji ulang untuk melakukan penangan step by step sebelum kejadian ini. Naasnya, masyarakat hanya bisa menyaksikan rumahnya amblas terbawa longsor hebat.

Kejadiaan naas itu menimpah warga di Kawasan RT 09, Kelurahan Jawa, Kecamatan Sanga-sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Sedikitnya enam (6) rumah warga mengalami amblas dan hancur.

Ragil Harsono dari Yayasan Indonesia Hijau menyebut lokasi kejadian sebenarnya daerah zona merah, mestinya tidak boleh ditambang. Heranya, kenapa mesti diberi ijin operasi penambangan.

Terlebih dirinya menyebut, operasi batu bara itu juga melanggar beberpa aturan. Selain melanggar ijin operasi, perusahaan hingga pemerintah juga tidak sosialisasi terhadap masyarakat setempat.

“Tidak pernah mendapatkan sosialisasi namun tiba tiba ada operasi tambang. Ini kan dengan masif berarti mereka melanggar beberpa peraturan,” heranya

Terpisah Dinamisator Jatingan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menilai selain 6 rumah yang sudah luluh lantah masih terdapat belasan rumah yang terancam amblas dan tenggelam jika eksploitasi batubara terus dilakukan.

Sesuai peraturan Kementeriaan Lingkungan Hidup No 04 Tahun 2012 tentang indikator tambang ramah lingkungan dan penambangan terbuka, bahwa jarak lubang galian tambang dari pemukiman warga adalah 500 meter. Namun kenyataannya eksploitasi tambang batubara PT Adimitra Baratama Nusantara (ABN) ini hanya berjarak kurang lebih 50 meter.

Jatam menyebut PT. ABN adalah anak perusahaan Toba Bara Group milik Luhut Binsar Panjaitan.

“Jarak tambang dg pemukiman kurang dari 100 meter, berdasarkan regulasi seharusnya minimal jarak 500 meter. Walaupun masuk dalam kondensi harusnya ada jarak dg penduduk, Kalau sistem peledakan 1-3km Perda RTRWP Kaltim juga mempertegas minimal 1km,” ungkap Rupang sapaan akrabnya.

Atas kejadian itu Jatam Kaltim mendesak pemerintah dan perusahaan Segera pulihkan kondisi sosial ekologi masyarakat dan lingkungan yang telah menderita bertahun-tahun akibat aktivitas perusahaan tambang batubara.

Bahkan jatam meminta untuk Segera evaluasi dan cabut izin usaha pertambangan (IUP) PT Adimitra Baratama Nusantara (ABN) yang telah menyebabkan amblas dan tenggelamnya rumah-rumah warga, serta menyebabkan fasilitas publik seperti jalan raya terputus total.

“Kami minta perusahaan harus bertanggung jawab penuh atas kejadian ini, ijin harus dicabut, Dan juga harus dilakukan penegakan hukum terbuka dan berkeadilan, cuman persoalannya pemerintah daerah berani atau tidak,” ungkapnya. (Fran)

kpukukarads