Sengketa Pilkada Kukar: MK Jadi Penentu, KPU Imbau Masyarakat Jaga Kondusifitas

Kutai Kartanegara – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) menghadapi tantangan baru setelah dua pasangan calon (Paslon) mengajukan gugatan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kukar.

Gugatan ini berkaitan dengan persyaratan pencalonan dan kini tengah diproses di Mahkamah Konstitusi (MK). Akibatnya, penetapan pasangan calon terpilih tertunda, memicu berbagai spekulasi tentang kemungkinan pemungutan suara ulang atau bahkan diskualifikasi paslon tertentu.

Komisioner KPU Kukar Divisi Hukum, Wiwin, menegaskan bahwa seluruh tahapan Pilkada Serentak 2024 telah dijalankan sesuai dengan regulasi yang berlaku, termasuk Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 dan 10 Tahun 2024.

“Kami berharap masyarakat tetap tenang dan percaya bahwa MK akan memutuskan perkara ini secara adil berdasarkan prosedur hukum yang berlaku,” ujar Wiwin pada Sabtu (18/1/2025).

Sengketa ini mendapat perhatian luas, mengingat hasilnya akan berdampak langsung pada kepemimpinan Kukar dalam lima tahun ke depan. Jika MK menerima gugatan, potensi pemungutan suara ulang atau perubahan hasil Pilkada menjadi skenario yang harus diantisipasi. Namun, jika gugatan ditolak, maka KPU Kukar akan melanjutkan tahapan penetapan sesuai jadwal.

Dalam menghadapi dinamika ini, KPU Kukar mengimbau seluruh elemen masyarakat untuk menjaga situasi tetap kondusif. Wiwin menekankan pentingnya transparansi dalam proses hukum yang berlangsung.

“Kami berkomitmen untuk mengikuti seluruh prosedur di MK secara terbuka dan akuntabel,” tambahnya.

Pakar hukum tata negara, Dr. Andi Saputra, menilai bahwa kasus ini menjadi ujian bagi sistem demokrasi di tingkat daerah.

“Proses ini bukan hanya soal siapa yang menang atau kalah, tetapi juga soal bagaimana supremasi hukum dijalankan. Keputusan MK nantinya akan menjadi preseden penting dalam penyelenggaraan Pilkada di masa depan,” jelasnya.

Seiring dengan meningkatnya tensi politik, masyarakat diharapkan dapat menyikapi perkembangan ini dengan bijak. Stabilitas politik dan keamanan daerah harus tetap menjadi prioritas utama, terlepas dari keputusan akhir MK.

“Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menghormati proses hukum dan hasil akhirnya,” pungkas Dr. Andi. (ADV)