“Spionase” Politik Pilkada Kaltim

*Oleh : Parawansa Assoniwora
(Wakil Sekretaris Bidang Komunikasi, Media dan Penggalangan Opini DPD Golkar Kaltim)

Pasca ditahannya ibu Rita Widyasari oleh Komisi Pembertantasan Korupsi (KPK) atas dugaan tindak pidana korupsi pada perijinan kebun kelapa sawit menjelang akhir tahun 2017 yang lalu, sampai minggu pertama di tahun 2018 ini, Isran Noor dan Hadi Mulyadi menjadi satu-satunya pasangan Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusung oleh Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Parta Amanat Nasional (PAN), yang bisa dipastikan menjadi kandidat calon Kepala Daerah pada Pilkada seretak pada 27 Juni mendatang di Kalimantan Timur.

  • Rita Widyasari: “Kalah” sebelum bertanding

Tak ada yang memungkiri, terhentinya karir politik Rita Widyasari dalam pentas politik Pilkada serentak yang akan berlangsung di 27 juni 2018 mendatang tidak lepas dari mencuatnya kasus dugaan penyelewengan wewenang pada pemberian ijin kebun Kelapa Sawit pada tahun 2010 silam. Terlepas dari pembelaan beliau bahwa dana yang diterima adalah murni hasil transaksi jual-beli emas warisan, namun fakta bahwa “bola” udah di tangan KPK dan telah menjadi konsumsi publik secara Nasional.

dprdsmd ads

Siapa yang tidak kenal kiprah politik beliau? Sebagai Bupati Kutai Kartanegara dan Ketua DPD Golkar Provinsi Kalimantan Timur, tentunya, di level politik Kaltim, beliau adalah sosok yang sangat disegani. Hal ini Nampak jelas pada awal sampai pertengahan tahun 2017, tak ada satu pun figur politik lokal yang berani memunculkan diri sebagai calon lawan politik beliau pada Pilkada serentak di tahun 2018 nanti. Kebanyakan para politisi lokal tersebut, baik di internal partai Golkar sendiri maupun di luar partai Golkar, hanya menawarkan diri sebagai kandidat wakil beliau.

Hal ini tentunya sangat beralasan, karena hampir semua lembaga survei, baik lokal maupuan nasional, menempatkan posisi beliau pada tingkat elektabilitas yang sangat tinggi, jauh melampau lawan-lawan politiknya yang lain. Namun, faktanya saat ini, perpanjangan penahanan sampai tanggal 4 Februari 2018, menjadikan Rita Widyasari “kalah” sebelum bartanding.

  • Kriminalisasi: Isu atau Fakta?

Akhir September 2017 adalah awal dimana peta politik Kaltim berubah secara drastis. Aksi 2 (dua) minggu Tim KPK dan Polda Kaltim yang melakukan penggeledahan di sejumlah rumah jabatan dan kantor-kantor pemerintahan di Tenggarong, Kutai Kartanegara, dan berlanjut pada pemanggilan dan penahanan ibu Rita Widyasari oleh Tim penyidik KPK menjadi titik awal perubahan konstelasi politik. Tentunya, peluang tersebut dimanfaatkan para lawan-lawan politik untuk melakukan konsolidasi serta memikirkan langkah-langkah strategis untuk kemenangan pada Pilkada serentak 2018 tersebut.

Kasus lama yang tiba-tiba muncul di awal-awal tahun politik, bagi banyak orang, dianggap sebagai langkah politik untuk menjatuhkan posisi ibu Rita Widyasari sebagai kandidat terkuat bakal calon gubernur Kalimantan Timur. Hal ini cukup beralasan, karena aksi-aksi politik, dianggap tidak mampu lagi untuk menjatuhkan elektabilitas ibu Rita yang terus mengalami peningkatan.

Namun, apa yang dialami oleh Ibu Rita, ternyata juga dialami oleh kandidat yang lain. Bebebrapa saat setelah penahanan Ibu Rita, media banyak menginformasikan pemeriksaan sebagai saksi oleh Kejati Kaltim kepada bapak Isran Noor, terkait kasus dana kegiatan olah-raga, dan bapak Rusmadi, sebagai Sekretaris Provisi Kaltim, terkait dana Hibah dan Bansos.

Selanjutnya, menjelang pergantian tahun 2017-2018, publik kembali dikagetkan dengan keluarnya surat pemanggilan terhadap bakal calon Gubernur yang juga sekaligus sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Kalimantan Timur, Syahrie Ja’ang, terkait kasus pemerasan dan pencucian uang yang menyeret terdakwa Ketua Pemuda Demokrat Indonesia Beratu (PDIB) di Bareskrim Mabes Polri, memunculkan spekulasi telah terjadinya tindakan kriminalisasi atas kandidat-kandidat terkuat bakal calon Gubernur Kalimantan Timur. Bukan hanya Syahrie Ja’ang, Rizal Effendi, yang merupakan calon terkuat pendamping beliau, sekaligus menjabat sebagai Walikota Balikpapan, juga diperiksa oleh Polda Kaltim, pada waktu yang hampir bersamaan meskipun dengan kasus yang berbeda.

Situasi ini memunculkan aksi protes. DPC Partai Demokrat Kota Samarinda, bahkan mengeluarkan surat pernyataan keras, dilanjutkan dengan aksi demonstrasi atas langkah Mabes Polri dan Polda kaltim yang melakukan pemeriksaan terhadap dua figur politik yang digadang-gadang akan diusung oleh Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tersebut. Tuduhan adanya kriminalisasi bakal calon kepala daerah yang dilakukan Kapolda Kaltim, Safaruddin, yang notabene juga merupakan bakal calon Gubernur Kaltim, semakin mencuat dan menguat.

Namun, dengan beredarnya surat telegram Kapolri, terkait mutasi dan pemindahan beberapa pejabat tinggi Polri, termasuk di dalamnya penarikan bapak Kapolda kaltim, Safaruddin, ke Mabes Polri, mengindikasikan adanya langkah-langkah politik pusat yang harus dilakukan terkait pengamanan situasi menjelang pemilukada serentak beberapa bulan kedepan di Kalimantan Timur.

Isu atau fakta apa pun yang berkembang selanjutnya. Semua ini tentunya merupakan strategi politik masing-masing pihak. Kriminalisasi atau tidaknya, tergantung bagaimana sudut pandang kita melihat kasus ini. Politik, tentunya, memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

  • Sikap DPP Partai Demokrat dan Implikasi Politiknya

Tuduhan kriminalisasi kandidat bakal calon gubernur Kalimantan Timur dari partai Demokrat oleh Kapolda Kaltim, membuat geram pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat. Apa lagi dengan hembusan isu bahwa sang bakal calon, Syahrie Ja’ang, telah berkali-kali diminta oleh PDIP, sebagai partai yang disinyalir kuat mendorong Kapolda Kaltim menjadi calon gubernur Kaltim, untuk mendampingi Kapolda, Safaruddin, dalam pemilu kada serentak di tahun 2018 ini.

Tidak tanggung-tanggung, “Emergency Meeting” dilakukan. Setelah itu, dilakukan konfrensi pers untuk menjelaskan situasi politik yang sedang terjadi, dan menguatkan adanya indikasi kriminalisasi yang dilakukan oleh perangkat kekuasaan negara terhadap beberapa kader partai Demokrat, termasuk Syahrie Ja’ang di Kalimantan Timur.

Bagi sebagian orang, langkah yang dilakukan oleh DPP Partai Demokrat telah menciptakan perubahan konstelasi politik di Kaltim. Berselang 24 Jam setelah pernyataan DPP Partai Demokrat, terdengar kabar Kapolri melakukan mutasi beberapa perwira tinggi Polri, dan salah satu diantaranya adalah Kapolda Kaltim. Apakah ini terkait?

Ada, paling tidak, 3 (tiga) proyeksi politik yang bisa muncul pada situasi ini. Pertama, pemanggilan dan pemeriksaan selama 5,5 jam terhadap Syahrie Ja’ang oleh Bareskrim Mabes Polri tidak bisa dianggap hal yang “aman” secara politik. Karena, jika benar, bahwa pada kasus sebelumya, Jaksa penuntut diwajibkan untuk melakukan banding terhadap vonis bebas ketua PDIB Kaltim, Hery Susanto alias Abun, maka dapat disinyalir terdapat kelemahan pada proses pemberkasan awal sehingga pihak Mabes Polri melakukan pegusutan “ulang” terhadap kasus terebut. Tentunya, ada hal-hal yang “tersembunyi” terkait apa yang sedang terjadi pada proses pemeriksaan yang tidak kita ketahui. Ada dugaan lain bahwa kepentingan DPP Demokrat terkait temuan bukti kasus hukum terhadap kasus ini bisa disinyalir mendorong langkah “reaktif” tersebut.

Bagi saya, dalam kasus ini, mutasi terhadap Kapolda Kaltim bisa memiliki makna yang lain. Makna tersebut bisa saja berarti bahwa untuk menjaga netralitas, serta mengurangi kuatnya indikasi konflik kepentingan politik pada kasus ini, maka Kapolda, sebagai bakal calon Gubernur, harus dipindah-tugaskan (bukan sebuah mutasi sanksi, melainkan pengamanan kepentingan), agar kasus ini bisa berlanjut dan netralitasnya tetap terjaga.

Kedua, sampai saat ini, kejelasan partai pengusung Syahrie Ja’ang – Rizal Efendi, khususnya di luar partai Demokrat, belum menunjukkan langkah dan tindakan strategis dan kongkrit dalam upaya pemenangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang didukung. Kondisi ini tentunya megindikasikan masih adanya “komunikasi” politik yang belum tuntas di antara kandidat dan partai pengusung. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Partai Gerindra, PKS dan PAN dalam mengusung kandidat bakal calon gubernur mereka, Isran Noor – Hadi Mulyadi.

Ketiga, jika benar berlanjut, maka kasus tersebut harus segera memiliki ketetapan status hukum, dengan konsekuensi politik bahwa Syahrie Ja’ang bisa tidak maju sebagai kandidat calon gubernur, karena para partai pengusung tidak ingin mengambil risiko politik atas kandidat yang diusungnya. Di sisi lain, mantan Kapolda Kaltim, Safaruddin, juga diyakini tidak akan maju demi menjaga marwah institusi kepolisian agar tidak dianggap melakukan kriminalisasi terhadap kandidat bakal calon kepala daerah.

  • Rusmadi Mundur?

Cerdas! Bagi saya, pernyataan mundur dalam politik bisa dimaknai sebagai strategi mundur selangkah untuk maju dua langkah. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh bapak Rusmadi dengan langkah ini. Pertama, dengan investasi politik yang sudah dilakukan beberapa bulan terkahir, langkah ini tentunya bisa menjadi acuan untuk mengukur keinginan pemilih terhadap figur beliau. Dengan kemasan yang saya pikir udah tepat, situasi ini justru bisa melahirkan gelombang dukungan yang cukup massif. Apa lagi dengan gaya politik yang santun dan berwibawa. Ini cukup bagi beliau untuk tampil sebagai sosok yang istimewa di hati pemilihnya.

Kedua, dengan asalan kehendak rakyat, ditambah dengan dukungan dari partai, seperti Golkar atau PDIP, cukup bagi figur Rusmadi untuk maju dan menjadi salah satu kandidat yang kuat. Bagi Golkar atau PDIP, tinggal bagaimana menempatkan pasangan yang tentunya bukan justru melemahkan dukungan pemilih.

Di partai Golkar, tiga sosok yang layak untuk berpasangan dengan beliau, menurut pendapat saya, adalah Sofyan Hasdam, Rahmad Mas’ud, dan Makmur HAPK. Ketiga sosok politisi ini memiliki basis dukungan yang kuat. Sofyan Hasdam dengan basis pemilih kota Bontang, Rahmad Mas’ud dengan basis pemilih kota Balikpapan, dan Makmur HAPK dengan basis pemilih Kabupaten Berau. Sedangkan, di PDIP, meskipun sosok Awang Ferdian adalah kader partai, dengan dukungan sang Ayah, Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak, saya tidak melihat bahwa langkah ini akan diambil oleh PDIP untuk memasangkan Rusmadi dengan kadernya tersebut. Di sini, bapak Gubernur Kaltim harus menyadari bahwa trah politik seseorang tidak diturunkan secara biologis, tetapi harus dibentuk. Potensi bahwa PDIP akan mendatangkan kandidat dari luar Kaltim adalah hal yang mungkin saja akan terjadi.

Terus, akankah Kapolda dicalonkan oleh PDIP untuk berpasangan dengan Rusmadi atau yang lainnya? Bagi saya, risiko politik bagi partai cukup besar. Sosok mantan Kapolda ini telah membangun citra buruk politik Kaltim setelah beberapa kandidat bakal calon ditahan dan diperiksa oleh pihak Kepolisian. Namun, hal tersebut bukan hal yang tidak mungkin. Sekali lagi, politik akan tetap punya cara untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. Asumsi ini lahir dari bayangan pertarungan yang ideal dan berimbang. Namun, upaya “kawin paksa” dalam politik bisa saja terjadi dengan mengabaikan risiko politik yang akan dipikul oleh partai kedepannya, misalnya Awang Ferdian dan Safaruddin akan diusung oleh koalisi PDIP dan partai Nasdem.

Akhirnya, sebagai sosok yang tidak memiliki kendaraan politik, Rusmadi tentunya akan legowo berada pada posisi nomor dua. Dan, partai yang paling berpeluang untuk mengusung beliau tetaplah partai Golkar dan PDIP. Selanjutnya, kita liat kemana arah “aliran” politik ini akan bermuara.

  • Kemana Arah Politik Pendukung Rita Widyasari?

Dengan hasil survei yang sangat jauh meninggalkan para kandidat bakal calon gubernur yang lainnya, memperoleh dukungan Rita Widyasari tentunya menjadi impian setiap kandidat yang akan bersaing nantinya. Sebagai bupati dua periode di Kutai Kartanegara, harus diakui bahwa pemilih kabupaten yang beliau pimpin memiliki jumlah pemilih terbesar kedua setelah kota Samarinda. Dengan kemenangan diatas 80% pada periode kedua beberapa waktu yang lain, setiap kandidat harus memikirkan ulang bagaimana menggerakkan mesin politik yang dimiliki oleh beliau sebelumnya. Jika tidak mampu, maka strategi pecah belah pendukung Rita Widyasari tentunya langkah yang harus diambil para kandidat.
Para pendukung Rita Widyasari bisa menjadi kekuatan besar dalam proses pemenangan kandidat. Mesin politik yang telah memiliki pengalaman “tempur” berhadapan dengan berbagai jenis isu serangan politik, tentunya menjadi potensi kekuatan tersendiri. Namun, apakah kekuatan itu masih solid dan ada setelah pemimpin mereka ditahan? Semua akan kita saksikan pada proses pemilukada yang akan berlangsung kedepannya. Yang pasti, selain dengan mesin politik, nama besar bupati Kutai Kartanegara ini masih melekat nyata pada diri pemilihnya.

Peluang arah dukungan politik pendukung ibu Rita Widyasari masih akan terlihat pada siapa calon yang akan diusung oleh partai Golkar. Jika calon yang diusung tidak memiliki keterkaitan dengan peristiwa penahanan beliau, maka saya yakin soliditas pendukungnya masih akan massif. Namun, hal lain yang harus dipertimbangkan adalah sejauh mana para kandidat yang akan diusung oleh partai Golkar mampu untuk menyakinkan sel-sel kerja mesin politik tersebut bahwa pilihan politik partai Golkar akan memberi yang terbaik pada semuanya. Pada titik ini, retorika dan argumentasi politik sangat dibutuhkan bahwa kepentingan x adalah kepentingan y.

  • Kesimpulan

Tidak ada hukum kepastian dalam politik. Segala sesuatu akan bergerak dinamis sesuai besar kecilya gesekan kepentingan politik yang terjadi. Apa yang tertulis diatas merupakan hasil pengamatan semata. Adalah tidak mungkin penulis mengetahui dalamnya kepentingan politik yang sedang terjadi. Segala asumsi politik diatas merupakan hasil kontemplasi penulis dalam megikuti dinamika politik lokal yang sedang terjadi di Kalimantan Timur. Akhir kata, tak ada yang pasti, setaip detik adalah pertarungan kepentingan dan setiap langkah adalah langkah kepentingan politik. Apapun yang tertulis hanyalah semacam tabir yang sengaja dibuka, sebagai hasil “spionase” politik, agar pembaca bisa memahami apa yang akan terjadi dan kenapa kita harus (tidak) memilih. Wassalam (*)