TEATER Sebagai SENI PERTUNJUKAN dan TEATER Sebagai INDUSTRI KREATIF

*Oleh : Hary Tany (Ketua DPW SRMI DKI JAKARTA, Pengurus KPW PRD DKI Jakarta, Pengurus Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat)

Ketika negeri ini tiba-tiba merasa memiliki ‘kesadaran’ baru akan “arus” industri kreatif, maka seperti sedang memacu kuda untuk berlari kencang mengejar ‘perasaan ketertinggalan’. gerakan pemberdayaan industri kreatif pun menjadi ‘mengarus deras’.

Sedikit-sedikit bicara soal indsutri kreatif. Sedikit-sedikit membuat segala upaya sebagai bagian dari industri kreatif. Sehingga, seakan-akan semua yang ada dan tumbuh dalam kehidupan ini adalah menjadi ranah industri kreatif.

dprdsmd ads

Industri kreatif menjadi slogan dan spirit gerakan, dalam rangka sebuah upaya untuk pemberdayaan hidup atas nama ‘mensejahterakan bangsa’ dan mengindustrikan segala potensi bangsa.

Sayangnya, semangat industri kreatif menjadi begitu kebablasan, sehingga hal-hal yang sebetulnya tidak ‘pas’ tidak ‘matching’ atau tidak pada bingkainya, dipaksakan dalam koridor ‘industri kreatif’.

Tak semua yang ada dalam hidup ini bisa dikalkulasi secara ‘industri’. Seperti contoh ‘teater’ misalnya. Tak semua aktivitas teater merupakan aktivitas industri. Tak semua kelompok teater adalah komunitas-komunitas industri. Dan tak semua kehidupan berteater adalah kehidupan industri.

Namun, mengapa syahwat “industrialisasi” telah memandang seakan-akan semua lini kerja kreatifitas merupakan asset dan komoditas industri.

Teater memang salah satu bidang seni yang ‘bisa jadi’ merupakan pekerjaan yang bisa mendatangkan uang.Tapi, mengkalkulasi, menyikapi, bahkan memprospek teater sebagai bagian dari industri kreatif adalah langkah dan sikap yang terlalu “mematerialisasi” kesenian.

Tak semua urusan dalam hidup itu bisa dibawa ke ranah ‘materialisme’. Meski dalam kehidupan ini tak ada yang bisa terbebas dari membutuhkan uang, namun ‘nuansa keberuangan’ tak boleh meluluh-lantakkan esensi seni yang pada hakikat bukan ‘material’, namun lebih pada estetika atau keindahan.

Tak semua bisa dibeli dengan uang. Dan tak semua kebahagian atau keindahan itu selalu berkaitan erat dengan uang. Maka, menyikapi fenomena ‘seni teater’ dengan cara pandang orang dagang, mengkalkulasi potensi kelompok teater sebagai ‘naluri industri’, sungguh itu merupakan cara pandang dan perilaku yang ‘serampangan’, ngawur, dan tanda kurangnya nilai ‘kebijakan’.

Semua kelompok teater memang pasti punya cita-cita menjadi professional. Semua orang teater pasti juga memiliki harapan bisa hidup layak dari keberteaterannya. Pementasan-pementasan teater pastilah diharapkan bisa menghasilkan uang. Dan berproses teater itu sendiri sesungguh juga tak bebas dari membutuhkan biaya produksi yang berupa “uang”.

Namun, sekali lagi, menyikapi sebuah ‘pementasan’ teater sebagai asset atau komoditas perilaku industri, sungguh telah mendangkalkan hal yang bernilai ‘non-materi’ menjadi ‘material’ sekali.

Tapi, jika kita mampu dengan tepat menjaga proporsi, dan mampu menyikapi dengan benar bagaimana teater mesti harus dikelola, dan pentas teater harus ‘disentuh’ dengan manajemen bisnis yang “profitable”, di situlah kita akan bisa berharap bahwa seni teater kita akan menjadi tumbuh dan berkembang secara professional dan proporsional.

Berteater memang butuh uang, namun jangan sampai dengan uang kita mengukur ‘kualitas’ keberteateran kita. Sebaliknya, biarlah ‘kualitas’ keberteateran (karya teater) kita, yang akan menentukan (menyebabkan) uang mendatangi kita.

Teater adalah ‘seni pertunjukan’ yang memberikan nilai-nilai indah dalam kehidupan kita.
Bukan sebaliknya, teater adalah bagian dari syahwat ‘industrialisasi’ kreativitas kita, yang hanya akan menjadikan kualitas berteater kita menjadi dangkal karena “uang oriented” yang menjadi ‘akidah’ keberteateran kita.

Boleh bersepakat, atau tak bersepakat sama sekali, Semua adalah pilihan! Menangkan Pancasila.


*)Isian pada kolom pojok suara adalah tanggung jawab penulis tertera, tidak menjadi tanggung jawab redaksi beritainspirasi.info