SAMARINDA – Kalimantan Timur akrab dikenal dengan kekayaan Sumber Daya Alamnya (SDA). Selain Migas, Kaltim juga memiliki cadangan batu bara yang melimpah. Karena aktifnya mengeruk Batu bara, justru muncul stereotip bahwa Kaltim hanya memiliki Batu bara, dan melupakan sumber ekonomi lain termasuk Industri kreatif. Begitulah, Fahmi Akmal Plt Direktur Pengembangan Pasar Dalam Negeri “Bekraf”, berkata.
Emas hitam itu cukup familier bagi warga kota tepian (Sebutan kota Samarinda) yang setiap hari dapat kita lihat melintas di aliran sungai Mahakam, keberadaanya justru berbanding lurus dengan konflik yang timbul. Dari penambangan illegal, pencemaran lingkungan, hingga warga yang meninggal akibat lubang tambang yang tidak direklamasi.
Belakangan warga kembali dihebohkan oleh nyaris karamnya kapal tongkang penuh batubara di sungai Mahakam, dekat wilayah harapan baru, Loa Janan Ilir pada, 18 Maret 2019.
Diketahui kapal dengan tongkang Batu Bara berisi 10.000 ribu ton itu berasal dari kukar menuju Balikpapan. Atas kejadian itu, Badko HMI Kaltim-Tara menganggap sebagai kelalaian dari Inspektur tambang juga perusahaan pertambangan.
“Inspektur tambang yang tidak melakukan pemeriksaan peralatan secara berkala dan perusahaan tambang yang menggunakan peralatan yang seharusnya mendapat perbaikan yang kemudian mengakibatkan kebocoran pada tongkang, Nyaris Karam disungai Mahakam,” kata Faishal Alwan Yasir Ketua Bidang Lingkungan Hidup, Badko HMI Kaltim-tara.
Menurutnya tentang pembinaan dan pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara tertuang dalam Pasal 36 PP Nomor 50 Tahun 2010. “inspektur tambang harus melakukan pengawasan melalui pemeriksaan secara berkala dengan melakukan inspeksi, penyelidikan, dan pengujian,” katanya
Nyaris karamnya tongkang bermuatan batu bara itu dianggap menyumbangkan kerusakan lingkungan yang sangat besar untuk lingkungan, Masyarakat, dan bahkan mengancam kualitas air, sementara sungai Mahakam merupakan sumber air bersih bagi warga kota Samarinda.
Disebutnya lagi, bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Kejadian tersebut merupakan sebuah kejahatan, baik perusahaan ataupun pengawas pertambangan dapat dikenakan sanksi seperti yang tertuang dalam pasal 99 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH yang berbunyi :
Pasal 99 ayat (1) : “setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).”
Pasal 99 ayat (2) : “apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp.6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”
Pasal 112
“Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 dan pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” Kata Faisal dengan mengutip peraturan.
Menurutnya dengan kejadian itu jelas terdapat pelanggaran lingkungan hidup, dengan itu Badko HMI Kaltim-Tara menanti tindakan tegas dari aparat penegak hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku terkait persoalan ini. (Fran)