BERI.ID – Warga Samarinda Utara menemukan lonjakan pajak yang tidak wajar, tagihan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) miliknya naik drastis dari Rp319.338 pada 2024 menjadi Rp489.557 pada 2025, atau setara dengan kenaikan 53,3 persen.
Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan kenaikan pajak dari Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda, yang hingga akhir tahun 2025 ini dibatasi maksimal 25 persen.
“Ini tidak sesuai ketentuan. Jangan sampai seperti kasus di Pati atau Balikpapan, kenaikan pajak memicu kegaduhan,” ujar Purwadi, salah satu warga yang mengeluhkan soal kenaikan harga PBB-P2, Kamis (11/9/2025).
Kenaikan PBB yang di luar ketentuan menurutnya berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Apalagi pajak merupakan salah satu sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang digunakan untuk membiayai pembangunan.
Purwadi dalam hal ini juga menegaskan pentingnya tata kelola yang baik.
“Tata kelola pemerintahan yang baik itu soal transparansi dan akuntabilitas. Kebijakan publik harus jelas bagi semua pihak, agar masyarakat tidak merasa dirugikan,” tegasnya.
Keluhan warga ini kemudian redaksi konfirmasi kepada Kepala Bidang Pendapatan Pajak I Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Samarinda, Fitria Wahyuni.
Diwawancara redaksi, ia mengakui adanya error dalam sistem.
Beberapa Nomor Objek Pajak (NOP) tidak terbaca dengan benar sehingga kenaikan pajak melampaui batas yang ditetapkan.
“Kemarin sudah kita cek, memang ada sebagian yang tidak masuk 25 persennya. Ini sudah kita sampaikan ke RT dan kelurahan agar warga segera melakukan pengecekan,” jelasnya, di Kantor Bapenda Samarinda, Kamis (11/9/2025).
Fitria menegaskan masyarakat yang merasa keberatan atau menemukan kejanggalan dapat melaporkan ke Bapenda, baik langsung maupun melalui kanal online seperti WhatsApp.
Ia menyebut bahwa sejauh ini laporan resmi terkait kesalahan hanya belasan hingga puluhan kasus.
“Error itu ada, tapi jumlahnya kecil, di bawah 5 persen. Biasanya terkait perubahan luas bangunan atau nilai tanah yang tidak ter-update di sistem,” ungkapnya.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa keluhan masyarakat terkait lonjakan PBB sebagian besar juga bisa dipicu oleh kesalahpahaman penyesuaian nilai serta kurangnya pelaporan perubahan bangunan.
“Banyak yang mengira kenaikan melebihi 25 persen, padahal sebenarnya batas itu dihitung dari 2024 ke 2025. Kalau ada penyesuaian sebelumnya, misalnya tahun 2021 atau 2023, lalu baru dibandingkan dengan 2025, wajar jika terlihat melonjak,” terangnya.
Ia juga menyoroti kepatuhan masyarakat yang masih rendah.
Contoh sederhana, rumah subsidi tipe 36 sering direnovasi tanpa dilaporkan. Ketika luas bangunan berubah, otomatis nilai pajak ikut naik.
“Tapi karena tidak pernah dilaporkan, muncul anggapan pemerintah yang salah,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa data lama dan perubahan bangunan yang tidak dilaporkan warga juga bisa menyebabkan selisih tagihan.
“Tolong di cek kembali PBB-nya gitu ya. Yang namanya sistem itu kan juga buatan manusia, jadi kalau mungkin ada salah ya mungkin-mungkin aja,” bebernya.
Mengenai program pembatasan kenaikan PBB maksimal 25 persen, Fitria menjelaskan program tersebut berlaku hingga akhir tahun, sementara diskon tambahan 17 persen berlaku hingga 30 September 2025.
“Harapannya masyarakat bisa memanfaatkan program ini sebelum jatuh tempo,” tandasnya. (lis)