JAKARTA – Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino menyoroti mangkraknya program Food Estate yang dikomandoi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang konon sebuah program demi mencegah ancaman krisis pangan, yang digagas di berbagai wilayah, seperti Kalimantan, Sumatera, Maluku, NTB, NTT dan Papua. Luas lahan yang digarap dalam proyek ini adalah 164.598 hektar. Rinciannya adalah lahan intensifikasi seluas 85.456 hektar dan lahan ekstentifikasi seluas 79.142 hektar.
Menurut Arjuna, sudah berjalan hampir tiga tahun program tersebut tak kunjung menghasilkan. Di Kalimantan Tengah misalnya, perkebunan singkong seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru tak kunjung panen. Padahal, sambung Arjuna, proyek food estate ini menelan anggaran cukup besar, sekitar Rp1,5 triliun pada 2021-2022.
“Proyek ini menelan anggaran besar. Tapi banyak yang mangkrak dan gagal. Prabowo Subianto sebagai penanggung jawab jelas gagal. Tak mampu menyukseskan program Presiden Jokowi”, ungkap Arjuna
Arjuna juga menilai proyek ini rawan konflik kepentingan. Pasalnya, PT Agro Industri Nasional (Agrinas) yang ditunjuk sebagai mitra pelaksana food estate diisi oleh orang-orang dekat Prabowo, sebagian besar dari mereka adalah pimpinan teras Partai Gerindra dan tim sukses Prabowo saat kampanye Pilpres 2019.
“Ini rawan konflik kepentingan, program negara rawan jadi sapi perah dan banjakan. Bisa menciptakan bisnis kroni. Jangan sampai kita kembali seperti masa Orde Baru, Negara dikuasai para kroni”, tambah Arjuna
Berdasarkan dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2020, BPK menemukan anggaran bermasalah dalam program Food Estate. Laporan tersebut mengungkapkan realisasi cetak sawah di enam kabupaten yang kurang dari kontrak dan menyebabkan kerugian Rp9,66 miliar, pekerjaan cetak sawah tak jalan di enam provinsi menyebabkan kerugian Rp25,20 miliar.
Juga, cetak sawah di luar wilayah survei di Kepulauan Meranti dan Morotai mengakibatkan pemborosan Rp1,76 miliar, perluasan sawah memotong kawasan lindung 113, 71 hektar di Sulawesi Utara dan Lampung hingga menyebabkan kerusakan hutan lindung dan sawah tidak bisa dimanfaatkan. Kemudian, perluasan sawah yang disubkontrakkan ke pihak ketiga dan merugikan negara Rp5,14 miliar.
“Saya kira temuan BPK ini perlu ditindaklanjuti. Karena ini program negara, dibiayai pajak rakyat. KPK harus turun tangan menyelidiki potensi kerugian negara”, tutur Arjuna
Soal kerusakan lingkungan dan krisis iklim, Arjuna juga menyampaikan merujuk pada studi Pantau Gambut tahun 2022, sebanyak 3.964 hektare lahan di tiga kabupaten, yakni Pulang Pisau, Kapuas, dan Gunung Mas terindikasi kehilangan tutupan pohon untuk menjalankan program food estate ini. Maka menurut Arjuna, Kementerian Pertahanan, sebagai leading sector program ini harus bertanggungjawab atas deforestasi dan kerusakan lingkungan yang terjadi.
“Program ini terlihat dijalankan serampangan. Resikonya banyak terjadi kerusakan lingkungan yang memperparah krisis iklim. Prabowo sebagai Menhan yang menjadi leading sector tidak bisa mengatasi persoalan ekologis bahkan justru merusaknya”, ungkap Arjuna
Program food estate ini menurut Arjuna realisasinya tidak sesuai target yang diinginkan Presiden Jokowi. Hampir 90 persen petani pada areal food estate tidak mendapatkan hasil panen yang memuaskan dari lahan seluas 1.000 hektar. Contohnya ada pada Petani di Desa Belanti Siam, di wilayah Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah, hanya memperoleh hasil 1,5 ton gabah per hektar sawah, bahkan ada yang kurang dari itu, padahal biasanya mencapai 3,5-4 ton. Ini setelah mulai ada eksekusi program food estate.
“Ini menjadi catatan untuk masyarakat Indonesia. Bahwa Prabowo Subianto gagal menjalankan proyek strategis nasional. Bahkan rawan konflik kepentingan dan bisnis kroni, serta berkontribusi pada kerusakan lingkungan”, tutup Arjuna.
(Dodi)