Studi CELIOS Buktikan MBG Picu Kenaikan Harga, Gerus UMKM, dan Pangkas Anggaran Pendidikan

MKM sektor makanan-minuman terancam bisnis MBG. (Foto: Studi CELIOS)

BERI.ID – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diklaim sebagai solusi strategis pemenuhan gizi nasional justru memunculkan rangkaian dampak domino yang serius terhadap perekonomian rakyat, sistem pangan lokal, hingga keberlanjutan anggaran publik.

Temuan ini terungkap dalam Studi Evaluasi 1 Tahun Makan (Tidak) Bergizi (Tidak) Gratis, yang dirilis Center of Economic and Law Studies (CELIOS).

Alih-alih memperkuat ekonomi lokal dan menurunkan beban masyarakat, implementasi MBG dinilai menciptakan distorsi baru, kenaikan harga bahan pangan, peminggiran petani dan pedagang kecil, ancaman terhadap UMKM makanan-minuman, serta realokasi anggaran besar-besaran yang mengorbankan sektor pendidikan dan perlindungan sosial.

Lonjakan Permintaan, Harga Pangan Terdorong Naik

CELIOS mencatat, pelaksanaan MBG memicu fenomena demand-pull inflation (Inflasi tarikan permintaan).

Program ini menciptakan lonjakan permintaan mendadak terhadap bahan pangan utama seperti beras, ayam, telur, dan sayur untuk memenuhi kebutuhan jutaan porsi makanan setiap hari.

Namun, kapasitas produksi pangan lokal tidak mampu merespons cepat lonjakan tersebut.

Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran. Stok pangan di pasar rakyat terserap oleh dapur-dapur besar MBG, sementara pasokan tidak bertambah.

Kondisi ini mendorong harga pangan naik dan langsung dirasakan konsumen umum serta pedagang kecil.

(Gambar 1 – Pergeseran Permintaan Akibat Pelaksanaan Program MBG)

Dalam simulasi CELIOS, pergeseran kurva permintaan dari D1 ke D2 dengan kurva penawaran tetap di S menyebabkan kenaikan harga dari P1 ke P2.

Dampaknya nyata di lapangan, harga daging ayam yang sebelumnya berada di kisaran Rp35 ribu per kilogram melonjak menjadi Rp38 ribu hingga Rp50 ribu per kilogram di sejumlah daerah.

“Kenaikan ini bukan kebetulan, melainkan konsekuensi logis dari kebijakan yang menyerap pasokan pangan lokal tanpa memperhitungkan kapasitas produksi dan distribusi,” tulis CELIOS.

Rantai Pasok Tertutup, Peternak dan Pasar Rakyat Tersingkir

Studi ini juga menyoroti model pelaksanaan MBG yang terpusat melalui dapur umum berskala besar, umumnya dikelola yayasan dengan modal ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Bahan baku utama, terutama ayam, dipasok melalui kontrak jangka panjang dengan perusahaan unggas besar.

Skema ini menciptakan rantai pasok tertutup yang menyingkirkan pasar tradisional dan peternak kecil.

Pedagang ayam di pasar rakyat kehilangan pembeli karena sebagian besar permintaan diserap dapur MBG.

UMKM pengolah ayam turut terdampak akibat harga bahan baku yang melonjak.

Program yang seharusnya memberdayakan ekonomi lokal justru memperkuat dominasi korporasi besar di sektor pangan, sekaligus melemahkan ekosistem pangan rakyat.

Beban Terberat Ditanggung Kelompok Rentan

Dampak kenaikan harga pangan paling dirasakan kelompok pekerja informal dan keluarga pekerja tidak dibayar.

(Gambar 2 – Pandangan Masyarakat Tentang Kenaikan Harga Bahan Pangan Akibat MBG Berdasarkan Jenis Pekerjaan)

Data survei CELIOS menunjukkan, 36,07 persen responden berstatus berusaha dibantu pekerja tidak tetap dan 20,61 persen pekerja keluarga tidak dibayar menyatakan harga pangan lokal meningkat akibat MBG.

Sebaliknya, kelompok dengan pekerjaan lebih mapan relatif lebih terlindungi.

Lebih dari separuh buruh/karyawan dan pelaku usaha dengan pekerja tetap justru menjawab tidak merasakan dampak kenaikan harga.

Polanya jelas, semakin rendah pendapatan, semakin besar dampak MBG terhadap daya beli.

Pada kelompok berpendapatan di bawah Rp2 juta per bulan, sekitar 27–31 persen responden menyatakan harga pangan naik.

Sementara pada kelompok berpendapatan menengah hingga tinggi, angkanya turun menjadi 20–26 persen.

CELIOS menegaskan, karena porsi terbesar pengeluaran kelompok miskin dialokasikan untuk pangan, kebijakan ini justru memperlebar kerentanan ekonomi.

Lapangan Kerja yang Diciptakan Bersifat Semu

Klaim bahwa MBG menciptakan lapangan kerja juga dipatahkan temuan lapangan.

Meski mayoritas responden mengakui adanya peluang kerja baru, sebagian besar menilai hanya segelintir warga yang terlibat.

Sebanyak 40 persen responden menyebut lapangan kerja yang tercipta hanya menyerap sebagian kecil warga.

Kelompok buruh formal relatif lebih merasakan manfaat, sementara pekerja informal, petani kecil, dan pekerja keluarga tidak dibayar justru banyak yang menyatakan tidak ada penambahan tenaga kerja di sekitar mereka.

Artinya, penciptaan kerja dari MBG bersifat sempit, temporer, dan eksklusif, jauh dari narasi pemerataan ekonomi.

UMKM Makanan-Minuman Terancam Tergusur

Ancaman serius juga menghantui UMKM makanan dan minuman.

Data BPS 2023 mencatat terdapat lebih dari 3 juta UMKM penyedia makanan dan minuman non-restoran dengan 6,49 juta tenaga kerja.

Jika MBG dijalankan secara terpusat melalui 30 ribu SPPG, CELIOS menilai terjadi pergeseran ekonomi besar-besaran dari jutaan UMKM lokal ke sistem sentralisasi pangan nasional.

Kantin sekolah dan warung sekitar sekolah kini bersaing langsung dengan dapur besar MBG.

Penjualan mereka anjlok, sementara pemerintah tidak menyiapkan skema kompensasi, kolaborasi distribusi, atau perlindungan usaha bagi pelaku kecil.

“MBG sejak awal memang dirancang untuk dapur besar bermodal besar, bukan untuk usaha mikro,” tulis laporan tersebut.

Klaim 1,5 Juta Lapangan Kerja Dipertanyakan

Dalam pidato Munas PKS, 29 September 2025, Prabowo Subianto mengklaim MBG akan menciptakan 1,5 juta lapangan kerja.

Namun CELIOS menilai klaim ini mengabaikan risiko shifting (pergeseran) pekerjaan.

Pekerjaan yang diciptakan MBG memiliki hubungan substitusi dengan pekerjaan di sektor UMKM makanan dan minuman.

Jika rantai pasok lokal tergantikan, maka lapangan kerja yang hilang bisa lebih besar daripada yang diciptakan.

CELIOS menghitung, risiko kehilangan pekerjaan di sektor UMKM makanan-minuman akibat MBG mencapai minimum 1,94 juta pekerja.

“Akibat MBG, risiko kehilangan pekerjaan sektor UMKM makanan dan minuman hingga 1,94 juta pekerja,” tulisanya didalam highlight.

Politik Pangan yang Menyeragamkan

Lebih jauh, CELIOS menilai MBG bukan sekadar kebijakan gizi, melainkan keputusan politik pangan yang meminggirkan pangan lokal.

Komposisi menu yang seragam, seperti beras, gandum, dan pangan ultra-proses, mengulang pendekatan Orde Baru yang menafikan keragaman pangan.

Padahal Indonesia memiliki 822 jenis pangan lokal dengan nilai gizi tinggi.

Namun, 94 di antaranya sudah tergolong langka dan 8 bahkan tidak lagi diketahui keberadaannya.

Kebijakan penyeragaman seperti MBG dan food estate dinilai berisiko mempercepat kepunahan pangan lokal.

Anggaran Rp335 Triliun dan Korban Pendidikan

Aspek paling krusial adalah pembiayaan MBG.

Pada APBN 2026, anggaran MBG mencapai Rp335 triliun.

Sebanyak Rp223 triliun atau 83,4 persen diambil dari fungsi pendidikan, setara 29 persen total anggaran pendidikan nasional.

Realokasi ini memunculkan apa yang disebut CELIOS sebagai predatory budgeting (penganggaran predatoris), artinya ialah perencanaan anggaran yang tidak realistis dan merugikan pihak lain.

Anggaran pendidikan yang seharusnya untuk peningkatan mutu pembelajaran, sarana sekolah, bantuan operasional, dan kesejahteraan guru, dialihkan untuk program dengan dampak yang belum jelas.

Dengan dana Rp223 triliun, pemerintah sebenarnya bisa menggaji seluruh 704.503 guru honorer sebesar Rp3 juta per bulan selama 8,8 tahun.

Namun pilihan kebijakan justru mengorbankan sektor pendidikan.

Dampaknya mulai terasa.

Di Universitas Gadjah Mada (UGM), kuota KIP Kuliah tidak bertambah seperti tahun-tahun sebelumnya.

Di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), nilai KIP bahkan dipangkas hingga 45 persen, memicu risiko mahasiswa putus kuliah.

Pertanyaan Besar untuk Pemerintah

Studi CELIOS memberikan pertanyaan mendasar, apakah pantas mengorbankan anggaran pendidikan, perlindungan sosial, dan keberlanjutan UMKM demi program MBG yang tata kelolanya bermasalah dan dampaknya kontraproduktif?

Alih-alih memperkuat gizi, MBG justru berisiko memperlebar ketimpangan, melemahkan ekonomi rakyat, dan menggerus masa depan pendidikan nasional, harga mahal dari kebijakan yang dipaksakan tanpa perhitungan matang. (lis)