Anak-Anak dan Ancaman Pedofil

*Oleh: Putri Nur Hardiyanti (Wakil Sekeretaris Bidang Kajian dan Advokasi KOHATI PB HMI)

ANAK merupakan generasi penerus cita-cita suatu bangsa. Rusaknya moralitas anak-anak sekarang akan membuat rusak pula moralitas bangsanya. Upaya-upaya perlindungan anak harus dimulai sedini mungkin agar kelak dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negaranya.
Masyarakat Indonesia geger dengan berita tentang video tidak senonoh yang diperankan oleh dua anak di bawah umur yang melakukan hubungan intim dengan seorang wanita dewasa. Videonya viral di media sosial. Dua bocah itu dipaksa oleh seorang wanita itu dan seorang pria yang merekam video tersebut. Padahal, dua anak itu sudah menyatakan tidak mau dan sempat menangis.

Sangat disayangkan kasus tersebut sampai terjadi dan menimpa anak-anak. Alih-alih melindungi si anak, orangtua dari anak itu justru terlibat dalam skandal video pornografi tersebut. Pelaku menjual video porno tersebut seharga Rp31 juta ke pedofil Rusia. Kemudian, pelaku memberikan uang Rp500 ribu kepada orang tua korban, sedangkan korban diberi uang Rp200 ribu – Rp300 ribu.

Tidak kalah menggegerkan, sebelumnya, polisi menangkap Ahmad Sobadri alias Emon (24 tahun) karena menyodomi 73 bocah laki-laki di Sukabumi. Bahkan informasi dari pihak kepolisian Sukabumi Senin sore kemarin (5/5/2014), korban bertambah jadi 89 anak, rata-rata berusia di bawah 7 tahun.

Pedofilia adalah penyimpangan seksual dengan anak-anak yang dilakukan oleh orang dewasa, untuk mencari kepuasan seksual dengan anak-anak. Seorang pedofilia biasanya laki-laki yang sudah dewasa, mereka mempunyai kelainan mental, bersifat psikopat, alkoholik, dan bertingkah asusila, di Indonesia perilaku ini juga sering menjadi suatu persyaratan untuk mendapatan suatu ilmu tertentu.

Kasus kekerasan seksual anak di Indonesia mengalami peningkatan. Komnas PA mencatat, setidaknya selama Januari-April 2014, terdapat 342 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Polri mencatat ada 697 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di separuh tahun 2014. Dari jumlah itu, sudah 726 orang yang ditangkap dengan jumlah korban mencapai 859 orang. Data KPAI menyebutkan, dari bulan Januari hingga April 2014, terdapat 622 laporan kasus kekerasan terhadap anak.

Jumlah tersebut kemungkinan bisa bertambah. Terlebih, jika pelakunya orang yang dikenal baik oleh korban, orang terdekat korban. Ini membuat banyak kasus pedofilia yang tidak berani dilaporkan, mereka khawatir membuat nama baik keluarga tercemar dan lainnya. Korban juga bisa merasa malu dan takut, sehingga ia tidak berani melaporkannya.

Menurut Dokter spesialis kejiwaan Teddy Hidayat, pedofilia terbagi dalam tiga jenis. Pertama, Immature Pedophiles. Pengidapnya cenderung melakukan pendekatan kepada targetnya yang masih kanak-kanak. Orang dengan tipe ini biasanya kurang dapat bergaul dengan orang dewasa. Andri Sobari alias Emon, misalnya, masuk dalam tipe ini. Ia sebelum menjalankan aksinya memberikan sesuatu kepada korban. Ia juga kurang bisa bergaul dengan orang dewasa.

Pertama Regressed Pedophiles. Pemilik kelainan seksual ini biasanya memiliki istri sebagai kedok penyimpangan orientasi seksual, tapi tidak jarang pasangan ini memiliki masalah seksual dalam kehidupan rumah tangga mereka. Ia menutupi kelainan seksualnya itu dengan menjalin hubungan dengan lawan jenisnya agar publik menganggap dia sebagai orang yang normal.

Kedua, Agressive Pedophiles. Orang dengan tipe ini cenderung berperilaku anti-sosial di lingkungannya, biasanya punya keinginan untuk menyerang korban. Bahkan, orang ini tidak jarang membunuh korbannya setelah dinikmati.

Pedofil bisa merusak generasi penerus bangsa. Jika trauma korban tidak disembuhkan, maka mereka potensial untuk menjadi pelaku kelak kala mereka dewasa. Feri, misalnya, melakukan pencabulan terhadap 9 siswa SMP di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Menurut Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat Brigadir Jenderal Polisi Arief Sulistyanto, kekerasan seksual dilakukan pelaku karena pernah disodomi saat duduk di kelas III SD.

Pada titik ini, kasus pedofil bisa tidak akan sirna di tanah air, bahkan bertambah. Sindhunata menegaskan, kekerasan itu mudah menular, berjangkit bagai wabah penyakit. Satu kasus belum tuntas sepenuhnya muncul kasus-kasus yang lain.

Tentu saja, kita tidak menginginkan anak-anak Indonesia menjadi korban keganasan pedofil. Pencegahan harus kita lakukan. Pertama, menciptakan ruang-ruang yang aman bagi anak, di rumah serta tempat bermain dan sekolah-sekolah. Di tempat-tempat itu anak-anak banyak menghabiskan hari-harinya. Kita berharap para orang-tua, orang dewasa dan para guru melakukan pengawan penuh di tempat-tempat tersebut.

Ketiga, memberikan pendidikan seks kepada anak-anak. Cara ini bisa dilakukan dengan cara pendidikan formal yaitu melalui ruang kelas di sekolah oleh para guru, dan pendidikan non-formal di rumah oleh orangtua. Anak-anak perlu diberi tahu wilayah-wilayah sensitif miliknya sehingga mereka bisa mendeteksi ancaman yang akan terjadi padanya.

Anak-anak juga perlu diajak berbicara lebih terbuka agar kala ada permasalahan, termasuk jika ada indikasi akan menjadi korban pedofil, agar mereka bisa dicegah agar tidak menjadi korban. Anak-anak juga perlu diajari untuk berani. Jika terjadi sesuatu, mereka berani mengatakan tidak dan melawan.

Bung Karno pernah mengatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa dengan sejarah para pahlawannya. Kita mengingat sejarah perjuangan bagaimana para pahlawan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia memang penting. Hal yang penting juga adalah kita harus menjaga masa depan anak-anak, karena di tangan mereka terdapat kunci-kunci untuk membuka gerbang kemajuan suatu peradaban. Anak-anak adalah penentu masa depan suatu bangsa. Maka, bangsa yang besar adalah bangsa yang menjaga anak-anaknya.


*)Isian pada kolom pojok suara adalah tanggung jawab penulis tertera, tidak menjadi tanggung jawab redaksi beritainspirasi.info

kpukukarads