Andi Harun Gerah soal Harga Item Dijual di Koperasi Sekolah Terlalu Mahal, Yang Melanggar Mau Diproses Tindakan 

Wali Kota Samarinda, Andi Harun. (Foto: Lisa/ beri.id)

BERI.ID – Wali Kota Samarinda, Andi Harun gerah soal lonjakan harga perlengkapan sekolah yang dijual melalui koperasi sekolah di Samarinda, terutama pada masa awal tahun ajaran, kembali memicu kegelisahan orang tua murid, seperti buku kesehatan siswa yang dijual hingga Rp50 ribu per eksemplar, padahal harga pasaran daring hanya berkisar Rp12 ribu hingga Rp15 ribu.

Harga itu dinilai terlalu mahal, dengan fisik yang dinilai juga tak sebanding.

Kesenjangan harga yang mencolok ini bukan hanya mencederai keadilan, tapi juga mempertegas lemahnya regulasi dalam pengawasan transaksi koperasi sekolah.

Pria nomor wahid di Kota Tepian itu dengan tegas menyatakan ketidakterimaannya terhadap praktik ini.

Ia menilai, disparitas harga tersebut telah melampaui batas toleransi dan menempatkan orang tua dalam posisi yang sulit secara ekonomi.

“Ini tidak boleh terjadi. Kami sedang mengidentifikasi item-item koperasi sekolah untuk menetapkan harga wajar secara menyeluruh di Samarinda,” tegas Andi Harun, Senin (21/7/2025).

Ia menyebut bahwa regulasi baru sedang disiapkan agar praktik jual-beli di koperasi sekolah berjalan lebih transparan dan berkeadilan.

Penjualan atribut maupun buku pendukung akan diatur, termasuk soal kewajaran harga dan larangan unsur pemaksaan.

Pemerintah, kata dia, tidak anti terhadap keberadaan koperasi, tetapi harus ada batasan agar koperasi tidak berubah fungsi menjadi lahan komersial yang membebani masyarakat.

Lebih lanjut, Andi Harun menegaskan bahwa tidak semua perlengkapan dapat diseragamkan, terutama yang berkaitan dengan identitas sekolah.

Namun, hal itu tidak boleh menjadi alasan untuk mengerek harga seenaknya. Pemerintah, sambungnya, juga akan memperkuat kanal pengaduan sebagai mekanisme kontrol.

“Kanal pengaduan SPMB masih dibuka untuk umum. Tetapi untuk kasus seperti SMPN 8, sudah kami identifikasi, jadi pengaduan langsung kami proses ke tindakan,” jelasnya.

Namun demikian, ia mengingatkan agar masalah ini tidak dipolitisasi. Pemerintah, menurutnya, sudah mengambil alih masalah ini dan meminta publik memberi ruang agar penanganan berjalan menyeluruh tanpa prasangka negatif terhadap sekolah.

Di sisi lain, Kepala Disdikbud Samarinda, Asli Nuryadin, secara terbuka mengakui bahwa selama ini belum ada regulasi baku yang mengatur harga perlengkapan sekolah, termasuk seragam, atribut, dan buku pendukung.

Ketiadaan standar harga ini membuat beberapa sekolah menentukan harga sendiri melalui koperasi, bahkan ada indikasi pengambilan keuntungan berlebihan.

“Kami belum punya standar harga. Maka sekarang sedang kami susun berdasarkan harga pasaran di marketplace. Misalnya harga sampul rapor 20 lembar di Tokopedia, kami ambil rata-rata, tambah ongkir dan margin koperasi yang wajar. Tidak boleh ada mark-up yang tidak masuk akal,” terang Asli.

Ia menegaskan bahwa pembelian perlengkapan sekolah harus bersifat opsional.

Bahkan, seragam jenjang sebelumnya yang masih layak pakai seharusnya diperbolehkan digunakan.

Namun dalam praktiknya, masih ada sekolah yang terlalu agresif memberikan daftar belanja kepada orang tua.

“Saya tekankan ke sekolah-sekolah, bulan-bulan awal jangan dulu bicara seragam. Tapi ternyata masih ada yang kasih list belanja ke orang tua,” bebernya.

Puncak keresahan ini muncul ketika orang tua siswa melaporkan langsung ke Wali Kota soal daftar perlengkapan sekolah yang tak masuk akal, termasuk harga buku kesehatan yang membengkak hingga lebih dari tiga kali lipat harga pasaran.

Disdikbud telah merespons cepat laporan itu dengan menyusun draft regulasi yang menetapkan tiga kategori perlengkapan: wajib, tidak wajib, dan tidak boleh ada.

Contohnya, seragam olahraga dan batik sekolah dikategorikan wajib, sedangkan PDH dan almamater tidak wajib. Item seperti psikotes dan asuransi siswa ditegaskan tidak boleh lagi masuk dalam daftar belanja sekolah.

“Kita ingin perlindungan menyeluruh terhadap orang tua. Tidak boleh lagi ada pemaksaan atau pembebanan biaya yang tidak masuk akal,” tegas Asli.

Ia menambahkan, draft regulasi sudah disampaikan ke Wali Kota untuk dikoreksi dan disetujui.

Setelah disahkan, dokumen tersebut akan menjadi acuan resmi bagi semua sekolah. Jika ditemukan sekolah yang menjual di atas harga standar, Pemkot akan menjatuhkan sanksi tegas. Sebaliknya, jika ada yang menjual lebih murah, hal itu masih dianggap wajar.

Terkait pendanaan, Asli menyebut bahwa untuk tahun ini Pemkot belum bisa menganggarkan subsidi perlengkapan melalui APBD, mengingat masih fokus menyelesaikan laporan keuangan daerah.

Namun ia berharap, di tahun depan beberapa item seperti seragam olahraga dan batik bisa diambil alih pemerintah.

“Kami sedang hitung, apakah bisa dimasukkan ke pos BOS atau BOSDA. Kita tahu pos itu juga dipakai untuk bayar honor guru, jadi harus cermat,” ujarnya.

Standarisasi harga ini diharapkan bisa mulai diterapkan dalam waktu dekat. Targetnya, seluruh sekolah sudah menerima acuan harga sebelum akhir bulan Juli.

Dengan begitu, kegiatan belajar mengajar tidak lagi dibebani oleh urusan administrasi atau pengadaan perlengkapan yang semestinya bukan menjadi beban utama siswa dan orang tua.

Langkah ini menjadi sinyal tegas bahwa Pemerintah Kota Samarinda serius membenahi sektor pendidikan dari hulu hingga hilir, tak hanya dari sisi infrastruktur dan kurikulum, tapi juga dari sisi transparansi biaya.

“Kami tidak ingin ada lagi cerita orang tua keberatan karena daftar belanja anaknya. Pendidikan harus inklusif dan terjangkau,” tutup Asli. (lis)