Beri.id, SAMARINDA – DPD GMNI Kaltim menolak Omnibus Law RUU Cipta Lapangam Kerja (Cilaka). Beberapa alasan yang mendasari penolakan itu.
Omnibus Law RUU Cilaka dianggap sebagai kebijakan yang hanya berpihak kepada pengusaha, bukan kepada kaum buruh.
Dalam perumusan Omnibus Law cipta lapangan kerja juga disebut sama sekali tidak melibatkan serikat buruh atau kaum buruh yang notabene kebijakan tersebut berdampak kepada mereka.
Selain itu, Omnibus Law Cilaka ini disebut akan berdampak pada menurunkannya bahkan menghilangkan pesangon, tidak adanya kepastian kerja terhadap buruh akibat dari sistem fleksibilitas pasa kerja atau yang selama ini dikenal sistem outsorching.
“Jaminan sosial juga terancam hilang, bahkan bisa menghilangkan sanksi pidana terhadap pengusaha,”kata Andi Muhamad Akbar, Ketua DPD GMNI Kaltim, Senin (20/01/20).
Untuk diketahui Omnibus Law adalah aturan yang disebut sebut disiapkan untuk memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global.
Saat ini Pemerintah sudah siap mengajukan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yakni RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law Perpajakan.
Untuk Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja mencakup 11 klaster, yaitu: 1) Penyederhanaan Perizinan, 2) Persyaratan Investasi, 3) Ketenagakerjaan, 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMK-M, 5) Kemudahan Berusaha, 6) Dukungan Riset dan Inovasi, 7) Administrasi Pemerintahan, 8) Pengenaan Sanksi, 9) Pengadaan Lahan, 10) Investasi dan Proyek Pemerintah, dan 11) Kawasan Ekonomi.
Akbar begitu ia disapa menyebutkan, Omnibus Law Cilaka ini mencakup ekosistem penyederhanaan perizinan dan investasi.
“Aturan ini sebagai bentuk sikap pemerintah untuk berfokus menciptakan kemudahan berusaha dengan mendorong meningkatnya investasi dan pertumbuhan ekonomi, karena selama ini regulasi dari tingkat pusat hingga daerah dianggap menghambat,”tandasnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, untuk menunjang subtansi Omnibus Law sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan pelaku usaha, pemerintah telah membentuk satuan tugas bersama atau task force.
Task force ini berisi perwakilan dari pimpinan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) serta anggoa dari unsur kementrian aau lembaga, Pemda dan akademisi.
“Regulasi ini berpotensi akan kembali menggerus hak-hak masyarakat terutama kaum buruh. Omnibus Law di inisiasi hanya untuk kepentingan iklim yang kondusif bagi bagi investasi, kepeningan korporasi serta akumulasi para pemodal,”ungkapnya.
Sejak pertama kali diwacanakan kata Akbar, pembahasannya dimonopoli oleh pihak eksekutif dan terkesan terburu-buru. Perumusannya juga tidak melibatkan semua unsur kelompok kepentingan.
Disebutnya konsep Omnibus Law yang akan mengamandemen dan menghapuskan banyak UU berpotensi melabrak seluruh aturan yang sudah ada. Konsep Omibus disebut sebagai konsep hukum baru di Indonesia sehingga asaz asaz pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU no.12 tahun 2011 atau yang terbaru UU no.15 tahun 2019 harus dipatuhi.
“RUU cipta lapangan kerja dalam semangatnya jusru memberikan angin surga bagi para investor dan kesengsaraan bagi kaum buruh, menghapuskan pidana perburuhan dan hanya menggantinya dengan sanksi perdata, hal ini tentu melenceng dari semangat UUD NKRI 1945 yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap seluruh rakyat Indonesia di tengah situasi hari ini banyak kasus pengusaha melakukan praktek semena-mena terhadap buruh,”kata Akbar.
Atas dasar itu, DPD GMNI menyerukan kepada DPP GMNI untuk mengambil posisi tegas menolak Omnibus Law RUU Cilaka dan segera mengintruksikan seluruh DPD dan DPC GMNI untuk mengadakan aksi serentak.
Bahkan rencananya DPD GMNI dan seluruh DPC se Kalimantan Timur akan melakukan aksi dalam waktu dekat dalam rangka menolak Omnibus Law RUU cipta lapangan kerja.
(Fran/*)