Anhar Nilai Sekolah Rakyat di Samarinda Simbol Ketimpangan Bukan Solusi Pendidikan

Anggota DPRD Samarinda, Anhar. (ist)

SAMARINDA – Program Sekolah Rakyat (SR) yang digulirkan pemerintah pusat dan menunjuk Kota Samarinda sebagai salah satu dari 65 titik pembangunan nasional, justru menuai kritik tajam dari DPRD Samarinda.

Anggota Komisi IV DPRD Samarinda, Anhar, menilai program tersebut lebih mencerminkan ketimpangan pendidikan ketimbang sebuah prestasi yang patut dibanggakan.

“Ini kontradiktif. Kalau barometer penerima didasarkan pada ketidakmampuan finansial, berarti kita mengakui bahwa kemiskinan ekstrem masih ada dan belum teratasi di kota ini,” ujar legislator dari Fraksi PDI Perjuangan itu, Jumat (13/6/2025).

Menurut Anhar, program SR memang bertujuan memberikan akses pendidikan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, pendekatan yang terlalu sektoral dinilai justru memperkuat stigma sosial.

“Alih-alih inklusif, ini bisa menciptakan sekat antara ‘sekolah orang miskin’ dan sekolah lainnya,” katanya.

Ia membandingkan program Sekolah Rakyat dengan Gratis Pol, program pendidikan gratis dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Berbeda dengan SR, Gratis Pol diklaim lebih tepat sasaran karena langsung menyentuh kebutuhan peserta didik dari semua lapisan masyarakat.

“Daripada membangun sekolah rakyat dengan anggaran ratusan miliar, lebih baik anggarannya dialihkan ke beasiswa langsung. Itu bisa dinikmati langsung tanpa label sosial tertentu,” jelasnya.

Tak hanya itu, Anhar juga menyinggung potensi penyimpangan anggaran dalam proyek pembangunan fisik Sekolah Rakyat. Ia menilai proyek infrastruktur dalam skala besar selalu menyimpan risiko korupsi bila tidak diawasi secara ketat.

“Kalau soal gedung, pasti rawan. Berbeda dengan Gratis Pol, dananya Rp25 juta per siswa, dan memang diterima utuh,” tegasnya.

Meski program SR merupakan inisiatif pemerintah pusat, Anhar menegaskan bahwa Samarinda tidak seharusnya memposisikan diri sebagai penerima pasif tanpa kritik. Ia menilai, kehadiran SR justru menjadi cermin bahwa pemerataan akses dan kualitas pendidikan di Samarinda masih jauh dari kata ideal.

“Ini bukan kebanggaan. Kita ingin semua sekolah berkualitas tanpa embel-embel, tanpa harus memisahkan yang miskin dan yang mampu,” pungkasnya. (Adv/DPRD Samarinda)

Exit mobile version