Anjat, Kerajinan Tangan Berbahan Rotan Berkembang Jadi Cinderamata di Kukar

Anjat, tas pungung suku Dayak. Anyaman berbahan dari rotan.

KUTAI KARTANEGARA – Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, tidak heran jika Negara ini menyimpan berbagai macam kerajinan tradisional yang unik dan memiliki nilai seni tingg.

Sebut saja Anjat, anyaman berbahan dasar rotan. Berbentuk seperti tas. Biasanya digunakan untuk barang bawaan ketika bepergian.

Seiring perkembangan waktu, kerajinan anyaman rotan ini mengalami perkembangan dan inovasi. Tak sekedar bentuk yang alami perubahan. Semakin kesini, Anjar berkembang menjadi Cinderamata. Atau buah tangan bagi para pelancong.

Mila, perempuan asli suku Dayak dari Kabupaten Kutai Kartanegara adalah salah satu pengrajin Anjat ini di Benua Etam.

Dirinya mengaku, sejak SD sudah belajar menganyam rotan. Kebiasan itu menjadi hobi baginya. Apalagi Anjat ini adalah kerajinan khas suku Dayak Kenyah. Yang berdayakan secara turun temurun. Mulanya sebagai hobi, akhirnya menjadi ekonomis.

“iya dulu sebagai hobi, tapi semakin kesini untuk mencari rezeki,”katanya.

Proses pembuatan Anjat terbilang sulit, pertama-tama rotan harus dibelah dan dihaluskan kemudian dirangkai menjadi bentuk Anjat. Setelah itu dimulailah proses penganyaman Anjat yang dilakukan berputar dari kiri ke kanan.

Kemudian dilanjutkan dengan memberi lapisan penutup dari kain, lalu diperindah dengan hiasan manik-manik yang dirangkai menjadi berbagai macam motif.

“tetapi rotanya tak bisa sembarangan, pakai rotan mahing. Kalau pakai rotan malas kualitasnya kurang baik,”terangn Mila.

Untuk mengerjakan kerajinan seperti anjat itu membutuhkan waktu dua hari. Jika tak banyak kesibukan. Dirinya bisa membuat satu uni anjat. Harganya pun beragam.

“Harganya sekitar Rp 150 ribu sampai Rp 300 ribu,”

Sama halnya dengan Ety, pengrajin dari Kecamatan Tenggarong. Setiap harinya ia memproduksi anyaman untuk buah tangan.

Untuk membuat anjat atau tas kecil dan tas besar, biasanya Ety membutuhkan waktu dua hari, namun tergantung motif yang diinginkan.

“Pada proses ini saya membutuhkan konsentrasi yang tinggi serta kehatian-hatian, jika tersalah anyaman akan rusak dan mengulang kembali. Untuk pewarnaan pada rotan, biasanya saya menggunakan pewarna alami yang juga melalui beberapa proses dengan memakan waktu 2 hari, agar warna selalu menempel lama di rotan,” beber Ety.

Meski hanya menggunakan alat sederhana atau manual, hasil karya Ety ini sering diburu oleh pecinta anyaman rotan dari berbagai daerah, di antaranya Samarinda, Balikpapan hingga Provinsi Kalimantan Barat serta Kalimantan Tengan dan Jakarta.

Untuk harga jual anjat atau tas kecil buatan ini dibandrol Rp150.000 hingga Rp200.000. Sedangkan tas anjat besar dipatok Rp. 200,000, sampai Rp. 350.000, namun tergantung motif dan tingkat kesulitannya.

“Saya juga berharap, adanya perhatian dari Stakeholder atau Dinas terkait agar usaha yang saya jalankan ini kian berkembang, dan saya berkeinginan akan membuat gallery sendiri untuk memanjang hasil karya anyaman rotan ini,” harap Ety.

(fran)