Galang Dana di Simpang Lembus Tak Kantongi Izin, Respon Pemkot dan Mahasiswa… 

Potret Mahasiswa saat demonstrasi dan meminta PP Kota Samarinda, Anis Siswantini dicopot, di depan Balai Kota Samarinda, Jumat (18/7/2025). (Foto: Lisa/ beri.id)

BERI.ID – Aksi penggalangan dana yang dilakukan sekelompok mahasiswa untuk korban kebakaran di Mahakam Ulu ternyata tidak mengantongi izin resmi dari instansi terkait.

Hal ini menjadi dasar pembubaran oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Samarinda, yang berpegang pada aturan hukum yang berlaku, baik Undang-Undang maupun Peraturan Daerah.

Secara hukum, kegiatan pengumpulan dana di ruang publik harus memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang.

Salah satu syarat utamanya adalah pemberitahuan atau izin resmi kepada kepolisian dan Dinas Sosial.

Plt Asisten I Sekretariat Kota Samarinda, Suwarso, menjelaskan bahwa tindakan pembubaran Satpol PP juga berlandaskan Perda Kota Samarinda Nomor 4 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum, terutama Pasal 11, yang mengatur pengendalian kegiatan di ruang terbuka.

“Kegiatan sosial itu sah, tapi tetap harus tunduk pada prosedur hukum. Kalau tidak izin, kami berhak menertibkan. Ini bukan soal tidak mendukung aksi kemanusiaan, tapi menjaga ketertiban sesuai perda,” tegas Suwarso.

Namun di sisi lain, Koordinator lapangan aksi, Edison, justru mengecam pembubaran tersebut.

Ia menilai tindakan aparat sebagai bentuk pembungkaman atas hak konstitusional mahasiswa untuk menyampaikan pendapat dan melakukan aksi sosial secara damai.

“Setiap warga negara, termasuk mahasiswa, memiliki hak untuk berekspresi dan melakukan aksi secara damai di ruang publik, sesuai amanat UUD 1945. Maka kami menolak segala bentuk tindakan represif yang tidak berlandaskan hukum,” kata Edison, usai demonstrasi di depan Balai Kota Samarinda, Jumat (18/7/2025).

Ia menyebutkan bahwa aksi dilakukan tertib dan damai, dan semestinya didukung pemerintah, bukan justru dibubarkan.

Edison juga menuntut pencopotan Kasatpol PP Kota Samarinda, Anis Siswantini, sebagai bentuk tanggung jawab atas insiden tersebut.

“Kami sudah menyampaikan permintaan pencopotan Kasatpol PP secara tertulis. Namun pihak Pemkot menyatakan hal itu tidak bisa langsung dilakukan karena ada mekanisme dan tahapan teknis. Sekarang kami tinggal menunggu respons resmi dari wali kota,” tegasnya.

Sementara itu, Kasatpol PP Samarinda, Anis Siswantini menegaskan bahwa simpang empat Mal Lembuswana merupakan zona larangan aktivitas publik sesuai Perda Nomor 7 Tahun 2017 tentang Ketertiban Umum.

“Zona itu ditandai dengan papan larangan oranye. Tidak boleh ada aktivitas seperti mengamen, meminta sumbangan, ataupun berdagang. Ini demi ketertiban dan keselamatan,” terang Anis.

Diketahui, meski berstatus zona oranye, kawasan pusat kota Samarinda tidak sepenuhnya menutup ruang bagi kegiatan sosial, termasuk penggalangan dana.

Dalam Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 7 Tahun 2017 tentang Ketertiban Umum, yang dilarang secara tegas hanyalah pemberian uang kepada pengemis, gelandangan, dan anak jalanan.

Artinya, tidak ada larangan eksplisit terhadap kegiatan sosial atau penggalangan dana kemanusiaan.

Namun demikian, pelaksanaan aksi di ruang publik tetap memerlukan koordinasi dan izin.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, setiap kegiatan yang melibatkan kerumunan di tempat umum wajib diberitahukan kepada kepolisian atau aparat terkait.

Selain itu, merujuk pada Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang, setiap pengumpulan dana secara terbuka juga harus mendapatkan izin dari Dinas Sosial, terutama jika dilakukan oleh komunitas atau organisasi dalam skala luas. (lis)