SAMARINDA – Bukan hanya intelektual yang di butuhkan dalam membangun legislasi yang arif dan bijak di arena politik legislatif, apalagi bagi legislator perempuan. Selain di tuntun untuk piawai dalam melakukan komunikasi politik juga menjaga kenyamanan psikologi sesama legilator. Belum lagi streotipe berbasis gender pun masih sangat tajam di rumah para wakil rakyat ini di Indonesia.
Seperti yang di sampaikan oleh Hetifah Sjaifudian anggota DPR RI dapil Kaltim – Kaltara. Saat berbagi cerita melalui coffe morning bersama rekan-rekan jurnalis (4/3/18). Perjalanan nya selama 2 tahun di komisi 10 yang fokus pada pendidikan daerah perbatasan, tak cukup memberi posisi tawar ketika diri nya mengajukan diri untuk masuk di komisi 5, yang cenderung maskulin dan prestisius. Komisi 5 DPR RI merupakan komisi strategis
Latar belakang pendidikan teknik yang di miliki nya, serta profesi konsultan yang pernah ia tekuni, ternyata belum cukup membawa nya masuk ke arena komisi, yang cenderung isinya para anggota dewan yang sudah pernah duduk di periode sebelum nya. “Saya agak syok karena tidak di terima di komisi 5 malah di taruh di komisi pendidikan karena gelar doktor saya,” Ucap nya dengan ramah.
Perempuan legislator seperti Hetifah memang harus kuat memajukan gagasan serta keberanian bertarung ide dengan sesama rekan legislator, apalagi yang laki-laki. Seperti pertimbangan luas wilayah dan tingkat kesulitan yang di bawa masuk dalam pembahasan, oleh nya sebagai salah satu perempuan anggota Pansus RUU Pemilu yang baru saja di sahkan. Buah manis Kaltim tetap mendapatkan 8 kursi di DPR RI.
Pengalamannya di Pansus bahkan di Banggar secara implisit membuka ruang perempuan lainnya untuk tampil beda dan ikut menentukan hal strategis. Komisi 5 pun akhir nya dia dapatkan. Konsentrasinya mengawal pembangunan kawasan tertinggal serta desa, dan peranan perempuan aktif dalam pembangunan menjadi isu pilihan nya. “Isu gender representatif di komisi itu pilihan beda yang jadi fokus saya, karena dari 10 perempuan legislator Golkar yang duduk gak pernah masuk komisi maskulin, 2 tahun belakangan ini saya yang pertama masuk komisi 5 dari Golkar,” Pungkas nya berirama ceria.
Streotipe terhadap perempuan cenderung mengantarkan pada ketidak percayaan diri menurut nya, seperti pelibatan perempuan untuk berkontribusi di daerah perbatasan dan Desa. Secara mekanisme mulai dari Musrembang sebenar nya perempuan memiliki porsi mengajukan yang di butuhkan kelompok perempuan di desa. Namun menurut nya lebih banyak perempuan elit setempat yang cenderung di undang seperti ibu PKK dan istri kepala desa. Yang tentu saja beda kebutuhannya dengan perempuan miskin.
“Selain itu sering kali perempuan kurang artikulatif, perempuan itu datang tapi tidak bisa menyuarakan, ini persoalan juga, “ Ujar nya.
Karakter konvensional, Patriarki serta bagiannya streotipe, membuat ketidak percayaan diri perempuan di ranah publik menjadi penghalang maju dan berkembang nya perempuan. Di tambah situasi serangan berupa pelecehan seksual makin marak, perjuangan perlindungan perempuan dari kekerasan dan pelecehan seksual di arena kebijakan tak begitu mulus ketika di sandingkan dengan rencana undang-undang pertahanan keluarga yang menekankan pola pembangunan keluarga sebagai pencegah.
“Pro kontrak peraturan pelecehan seksual dengan RUU pertahanan keluarga. Sedangkan yang kita butuhkan sekarang itu perlindungan dan penindakan terhadap pelaku,” Tegas Hetifah. (Red)