BERI.ID – Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Novan Syahronny Pasie, menyebut peristiwa yang dialami NJ (4), balita dengan ADHD dan epilepsi yang ditemukan penuh luka, menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah dan pusat yang selama ini lebih sibuk dalam pembangunan fisik dibanding memastikan keselamatan warganya.
NJ sebelumnya diasuh di Yayasan FJDK Samarinda, kasus ini mencuat pada Maret 2025, namun proses hukumnya masih berjalan lambat.
“Kalau anak bisa mengalami kondisi seperti itu di panti, maka masalahnya bukan hanya di pengasuh. Kita harus bertanya, di mana posisi negara ketika anak itu terluka?” kata Novan, Rabu (2/7/2025).
Ia juga menyesalkan sikap sejumlah fasilitas kesehatan yang sempat ragu menangani kondisi medis NR karena terganjal proses hukum.
Situasi ini mencerminkan tumpang tindih kewenangan, serta ketidakhadiran regulasi yang berpihak pada kemanusiaan.
“Kalau nyawa anak masih dipertaruhkan karena menunggu legalitas penanganan, berarti sistem ini lebih mengutamakan dokumen daripada kehidupan. Itu bukan sistem perlindungan anak, itu jebakan prosedural,” kecamnya.
Novan mengungkap bahwa Yayasan FJDK ternyata merawat 22 anak tanpa dukungan operasional dari pemerintah.
Lembaga tersebut tidak masuk dalam skema pembiayaan sistematik, tidak didampingi tenaga medis tetap, dan tidak memiliki kontrol berkala dari otoritas sosial. Dalam konteks itu, kata Novan, mustahil menyalahkan satu pihak saja.
“Masalah ini seperti gunung es. Kita hanya lihat puncaknya. Tapi di bawahnya ada pembiaran, pembungkaman, dan kegagalan kolektif,” ucapnya.
Ironisnya, negara justru sibuk dengan citra modernisasi kota, baik itu membangun taman, jembatan, hingga gedung pencakar langit, sementara panti-panti yang menyelamatkan anak-anak marginal berjuang sendiri di lorong-lorong sunyi anggaran.
“Jujur saja, ini bukan hanya soal hukum atau yayasan. Ini refleksi dari negara yang gagal memenuhi hak dasar anak,” tegasnya.
Ia menyerukan agar kasus ini dijadikan momentum evaluasi total sistem pengawasan dan perlindungan anak di daerah. Menurutnya, regulasi ada, perda tersedia, tapi implementasi dan keberpihakan lapangannya nihil.
DPRD, katanya, akan mendesak terbentuknya gugus tugas lintas sektor yang tak hanya menyusun kebijakan, tapi benar-benar memetakan kebutuhan dan tantangan di lapangan.
“Jika tidak ada upaya serius, maka NR hanya akan menjadi satu dari sekian banyak nama yang terlupakan dalam dokumen kasus,” tutupnya. (lis)