Hukum  

Kasus Korupsi Pelabuhan Kenyamukan, Pledoi Terdakwa Kelompok Tani Minta Dibebaskan

SAMARINDA – Kasus dugaan korupsi pembebasan lahan proyek pembangunan pelabuhan kenyamukan Sangata, Kutai Timur (Kutim), Kalimantan Timur (Kaltim) Memasuki babak akhir, dua orang tersangka dari kelompok tani yang telah ditersangkakan sejak 2015 dan ditahan sejak 2018 lalu, kini sudah memasuki pembacaan pledoi terdakwa.
Sidang berlangsung dipengadilan negeri, Jalan M Yamin Samarinda pada, Selasa (21/05/19) sore, Sidang dipimpin Hakim ketua Abdul Karim.
Melalui kuasa hukumnya, La ode Beni sebagai ketua tim penasehat hukum terdakwa Haerudin (salah seorang terdakwa) mengatakan, kliennya tidak terbukti bersalah sebagaimana diancam (dakwan primer) pidana dalam pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.
“bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan,” tutur La ode
Dalam membacakan pledoi, La ode juga meminta Kliennya dibebaskan dari segala tuntutan hukum, Pihaknya juga meminta supaya hakim mau memulihkan nama baik, kedudukan, harkat serta martabatnya seperti semula.
Disebutnya, berdasarkan fakta-fakta dan keterangan saksi di hadapan persidangan dan majelis hakim, terdakwa tidak terbukti melakukan pembebasan lahan diatas lahan negara.
“lahan mangrove yang disebut merupakan tanah Negara yang berada  di pinggir pantai tidak dapat dibuktikan dengan kuat oleh JPU,” Kata Laode.
Terdakwa kata dia telah menguasai lahan sejak tahun 1987, artinya sudah lebih dari 20 tahun, dari luasan lahan Sekira 400 HA, 70% nya adalah lahan produktif untuk tambak, selebihnya ditanami mangrove untuk menahan abrasi.
“23 tahun lebih mangrove itu sudah menjadi hutan, nah ini kemudian diklaim jaksa bahwa itu adalah hutan konservasi, pertanyaan kami dalam persidangan kapan ada penetapan sebagai konservasi, penentuan hutan konservasi bukan hanya kata jaksa, itu menteri dan melalui proses pengadilan, ini tidak dibuktikan oleh jaksa,” katanya.
Dirinya juga menilai bahwa Jaksa telah menganggap sama kedudukan antara surat SPPTB dan PPAT yang diterbitkan pasca penetapan lahan untuk pelabuhan.
“Itu status hukumnya beda, dan menurut kami itu tidak mengikat,” bebernya.
Sebelumnya, JPU memberikan tuntutan kepada terdakwa dengan pidana 7 tahun 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana 6 bulan kurungan. Menghukum terdakwa Hairuddin untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.189.003,125 jika terdakwa tidak dapat membayar setelah 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap maka harta benda dapat disita dan dijual lelang untuk membayar uang pengganti tersebut. Apabila harta benda tidak mencukupi maka dipidana dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 9 bulan.
Saat sidang Dalam pembacaan pledoi, Lo ode juga menyebutkan bahwa Jaksa penuntut umum telah abai terhadap fakta persidangan, bahwa seluruh proses kegiatan pengadaan tanah pelabuhan kenyamukan adalah mutlak tanggung jawab panitia.
Bahkan, demi penuntasan kasus ini secara terang, Dalam persidangan, melalui kuasa hukum juga minta untuk dihadirkan tim panitia pengadaan tanah.
“tapi diabaikan, jaksa tidak memenuhi permintaan kami,” beber La ode.
Dalam persidangan JPU menolak seluruh nota pembelaan terdakwa, dan terdakwa juga tetap dengan nota pembelaannya. Selanjutnya, melalui hakim ketua memutuskan untuk sidang pembacaan vonis akan dilangsungkan pada, Kamis (23/05/19).
Sementara itu dikonfirmasi usai persidangan, Miftah Hasim, anak terdakwa mengatakan, dalam kasus yang menimpah ayahnya ada ke tidak adilan dalam proses hukum.
“Bapak kami yang hanya seorang dari kelompok tani mendapatkan status tahanan berupa kurungan badan dan diberikan tuntutan selama 7 tahun 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,-. Sementara 3(tiga) orang lainnya yang merupakan bagian dari Tim 9 (sembilan) mendapatkan status tahanan kota dan tuntutan hanya selama 3 (tiga)  tahun, bahkan ada yang mendapatkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3),” ucapnya. (Fran)