SAMARINDA – Para penggugat perkara Nomor 11/PLW/TF/2021/PTUN SMD dan No.11/G/TF/2021/PTUN SMD di PTUN Samarinda keberatan dengan putusan dismissal hakim.
Mereka menilai putusan hakim PTUN belum lama ini, dengan tidak menerima gugatan adalah bentuk inkonstitusional.
Para penggugat di antaranya Abdul Rahim, Hanry Sulistio, Faizal Amri Darmawan dan Lisia.
Keempat warga Samarinda ini menggugat Presiden RI, Ketua Pengadilan Tinggi Kaltim, Ketua Pengadilan Negeri Samarinda, Mabes Polri, Polda Kaltim dan Ketua PTUN Samarinda.
Meski sudah dua kali digugat, hakim dalam putusan dismissal tetap menolak dengan alasan tidak memenuhi syarat formil.
Tapi para penggugat merasa gugatan mereka lengkap dan layak, sehingga tak ada alasan bagi hakim untuk menolak.
“Justru hakim melanggar hukum, sebab dalam pertimbangan hukum, majelis hakim dalam mengadili, kami nilai erat memanipulasi. Kami pihak mengunakan hak ingkar tetapi tidak diterima,” ungkap Abdul Rahim kepada media ini.
Hak ingkar yang dimaksud Rahim adalah hak penggugat mengusulkan pergantian majelis untuk menangani perkara tersebut.
Dasar usulan, karena Ketua PTUN Samarinda turut tergugat. Hal itu, bagi penggugat berpotensi terjadi konflik kepentingan.
Dan larangan itu, kata Rahim, dimuat dalam Pasal 17 Ayat 5 UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
“Tetapi hakim mengaburkan dengan memasukan Pasal 78 UU Nomor 5 tahun 1986 tentang PTUN,” terang mantan aktivis kampus ini.
Bunyi pasal ini, ayat 1 menyebut “seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau
isteri meskipun telah bercerai, dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera”
Menggunakan pasal tersebut, kata Rahim, hakim menolak usulan hak ingkar penggugat karena merasa tidak ada hubungan darah.
“Kami tidak mempersoalkan ada atau tidaknya hubungan darah antara hakim dengan para pihak, karena memang tidak ada persoalan tersebut dalam perkara ini. Yang kami persoalkan itu terkait kepentingan hukum dimana hakim yang kita persoalkan sudah sebagai tergugat, itu persoalannya,” tegas Rahim.
“Masa tergugat mengadili perkara dirinya sendiri,” sambung dia.
Karena hal tersebut, Rahim menuding ada pengaburan hukum.
Lebih jauh, pria yang juga Demisioner Ketua Permahi Samarinda mengatakan putusan hakim dengan tak menerima gugatan, sebagai bentuk penghinaan kecerdasan masyarakat.
“Ini bentuk inkonstitusional hakim yang mana hak hukum kami sebagai pihak yang berperkara sebagaimana dijamin Pasal 17 Ayat 5 UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Jo Pasal 79 Ayat (1),(2)(3),(4) UU 5/1986 tantang PTUN,” tegas dia.
Tak hanya itu, Rahim juga menuding putusan hakim menjadi abal-abal karena baginya inkonstitisional.
“Ini tipu muslihat dan inkonstitusional, sehingga kami teguh dalam pendirian, untuk menunggu dan mendesak sikap tegas Mahkamah Agung (MA) RI selaku pemegang kekuasaan tertinggi kehakiman menindak hakim-hakim tersebut,” tegas dia.
Sebagai informasi, Rahim dkk sudah melayangkan somasi ke MA atas masalah ini. Saat ini mereka masih menunggu jawaban MA.
“Jika MA mendiamkan somasi atau teguran hukum yang telah kami layangkan hingga dua kali, maka sama saja MA sebagai lembaga yudikatif tidak bertanggungjawab hukum terhadap masyarakat,” ucap Rahim.
Atas peristiwa ini, Rahim meminta partisipasi publik dan pakar hukum hingga mahasiswa agar dapat memberikan perannya sebagai agent of change.
“Serta keterlibatan media masa sebagai mata dan telinga untuk mengkontrol penyelegara negara, jangan sampai kesewenang-wenangan melampaui perundang-undangan,” tutur Rahim.
Perihal langkah selanjutnya, Rahim dkk masih menunggu jawaban atas somasi yang dilayangkan ke MA.
Senada, penggugat lain Hanry Sulistio juga mengutarakan kekecewaan. Atas dasar itu, Hanry menuding perbuatan hakim yang mengadili perkara ini mencederai marwah hakim.
Selain itu, Hanry juga menuding hakim, dalam putusannya telah menafsirkan frasa dalam pasal dengan memanipulasi makna frasa dalam pasal-pasal dan ayat- ayat yang jauh dari dasar hukum RI yakni Undang-Undang Dasar 1945.
“Janganlah pertimbangan hukum hakim berdasarkan penafsiran-penafsiran sendiri, frasa dalam pasal dan ayat itu sudah jelas dan tegas dengan menggunakan bahasa indonesia yang baik tidak diperlukan lagi penafsiran. Lantas mengapa harus ditafsirkan lagi,” ucap Hanry.
“Untuk itu penegakan hukum harus berdasarkan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku, bukan berdasarkan penafsiran-penafsiran sesat seenak hakim untuk mengakomodir kepentingannya,” sambung Hanry.
Hanry juga menuding perilaku hakim-hakim ini hanya seputar pada hukum formil atau berdasarkan payung hukum hasil manipulasi perundang-undangan, guna menjegal gugatan masuk ke pokok perkara.
“Jangan mengartikan bahasa Indonesia dengan cara yang sesat. Kita ini orang Indonesia dan bisa berbahasa Indonesia dengan fasih. Hakim Jangan beranggapan bahwa keputusannya untuk memberikan kepastiaan hukum, itu hanya omong kosong, karena jika perkara a quo tidak diadili hingga hukum materilnya dan menguji pokok perkara sesuai mekanisme yang berlaku, maka sampai kapanpun perkara ini tidak pernah mendapatkan kepastiaan hukum yang berkeadilan dan bermanfaat,” tutup Hanry.
- PERTIMBANGAN PUTUSAN DISMISSAL
Sidang perkara gugatan tersebut dipimpin, Ketua Majelis Hakim Aning Widi Rahayu didampingi dua hakim anggota.
Dalam pembacaan putusan dismissal majelis hakim berpendapat Ketua PTUN punya kewenangan melaksanakan proses dismissal sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Ayat 1 UU 5/1986 tentang PTUN.
Bahwa dalam permusyaratan Ketua PTUN berwenang memutuskan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan, bahwa gugatan yang diajukan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasarkan dalam hal, pokok guatan tak termasuk wewenang PTUN, syarat gugatan tak terpenuhi, gugatan didasarkan pada alasan yang layak, dan lainnya.
“Maka kewenangan Ketua PTUN memutuskan berdasarkan kewenangan atribusi yang diberikan oleh UU. Justru ketika dismissal tidak dilakukan maka melanggar hukum,” demikian dibacakan hakim anggota.
Kemudian, perihal hak ingkar, majelis berpendapat, dalam menjalani tugas peradilan, hakim selalu berpedoman pada UU dan tak punya kepentingan apapun.
Karena itu, majelis menilai keberatan hak ingkar yang diajukan penggugat tidak beralasan hukum.
Selanjutnya, mengenai keberatan pelawan terkait perbuatan melawan hukum tak beralasan karena perbuatan melawan hukum oleh badan atau pejabat pemerintah termasuk dalam tindakan pemerintahan. Sehingga penggunaan dalam penetapan dismisal Ketua PTUN secara hukum telah tepat.
Sebab, perbuatan melawan hukum pejabat pemerintah merupakan tindakan pemerintahan, sehingga penyelesaian berdasarkan berdasarkan UU 30/2013.
“Gugatan para pelawan juga tidak dilampirkan dengann upaya administrasi kepada masing-masing terlawan. Sehingga PTUN belum berwenang mengadili.
Majelis juga berpendapat gugatan para penggugat ke tergugat dari PN, PTUN, dan PT sebagai perbuatan melawan hukum, tidak tepat sebab melakukan fungsi-fungsi yudikatif.
Kemudian, gugatan kepada tergugat lain juga disebut majelis tidak didasarkan pada alasan yang layak.
Atas dasar semua pertimbangan tersebut majelis menolak gugatan para terggugat.
Sebelumnya, majelis hakim sudah menolak gugatan dalam putusan dismissal.
Menurut hakim, gugatan perbuatan melawan hukum yang ditujuhkan warga ke presiden dan para tergugat lain, belum memenuhi syarat formil. Karena penggugat belum melakukan upaya administrasi.
Dalam amar putusan dismissal sebelumnya, hakim menilai dalil gugatan yang disampaikan penggugat masuk kategori gugatan perbuatan melawan hukum.
Karena itu, proses penyelesaiannya berpedoman pada UU Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintah serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6/2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2/2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintah.
Merujuk pada UU tersebut, warga diminta apabila merasa dirugikan akibat keputusan pejabat pemerintah dapat mengajukan upaya administrasi. Upaya administrasi yang dimaksud yakni keberatan dan banding.
Dalam penetapan dismissal, upaya ini, menurut hakim belum dilakukan para penggugat sehingga tak diterima gugatan mereka.
“Sesuai amar putusan dismissal ya, sudah jelas di situ semua pertimbangan hakim. Karena pertimbangan itu perkara tidak diterima dan menghukum penggugat membayar biaya perkara,” ungkap Humas PTUN Samarinda, Darma Setia B Purba saat ditemui awak media di PTUN Samarinda, Rabu (31/3/2021).
- POKOK GUGATAN
Pokok gugatan, Rahim dkk menggugat Presiden Jokowi karena dianggap lalai menjaga profesionalitas lembaga polri, karena kewajibannya sebagai kepala negara.
Hal ini bermula saat Rahim dkk menggugat 12 oknum polisi di Pengadilan Negeri Samarinda.
Dalam perkara tersebut, mereka menuding intitusi Polri ikut campur tangan dalam urusan peradilan, karena memberikan bantuan hukum kepada oknum yang mereka digugat.
Karena alasan itulah menyerempet hingga ke gugatan RI satu alias presiden. (Fran)