Kutai Timur – Belasan mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Besar Mahasiswa (IKBM) dan pemuda kecamatan Kaubun, kabupaten Kutai Timur. Menyatakan sikap penolakan atas disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Sikap politik itu disampaikan dengan membentangkan beberapa spanduk. Diantaranya bertuliskan Mosi Tidak Percaya, Jegal Sampai Gagal, Tolak Omnimbus Law & Tolak UU Cipta Kerja, di depan Gerban Desa Bumi Etam diantara jalan Provinsi menuju Kota Berau.
Mereka menilai, RUU yang telah disahkan menjadi UU pada rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10) lalu, terkesan dipaksakan ditengah situasi Covid-19 yang terus melandai.
“Kesannya terlalu bernafsu untuk melakukan agenda kejahatan tanpa memfokuskan untuk menyelesaikan keselamatan rakyat di masa covid-19,”kata Ketua IKBM Kaubun Muhammad Hasbi Mo’a pada Selasa(06/10/2020), Kecamatan Kaubun, Kutai Timur, Kaltim.
Dirinya menjelaskan, terkhusus dalam kluster Ketenagakerjaan yang termaktub dalam Omnimbus Law. Ada beberapa pasal yang jelas tidak mengakomodir kepentingan buruh.
Disebutnya dalam pasal 88 huruf c dan 88 huruf d draf RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan. Pada penentuan upah minimum hanya memperhitungkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi provinsi.
Padahal sebelumnya, Peraturan Pemerintah (PP) 78/2005 mengatur penetapan upah provinsi serta kabupaten/kota memerhatikan standar kualitas hidup layak hingga sekup kabupaten/kota.
Adapun upah minimum sektoral, seperti di sektor pertambangan dan perkebunan, dihapuskan dalam RUU Cipta Kerja.
Selain itu, memangkas pesangon buruh yang di-PHK. Nilai pesangon bagi pekerja dalam omnibus law turun karena pemerintah menganggap UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan tidak implementatif.
“Kemudian mengenai penghapusan izin atau cuti khusus yang tercantum dalam UU 13/2003. Penghapusan ini seperti tidak masuk kerja saat haid hari pertama, keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, pembaptisan anak, istri melahirkan/keguguran dalam kandungan, hingga anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia,”sebutnya.
Tak hanya itu, mengenai nasib dan status kerja para buruh outsourcing semakin tidak jelas dalam omnibus law. Misalnya pekerja alih daya atau outsourcing yang sebelumnya diatur pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan dihapus.
“Kedua pasal tersebut mengatur bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerja kepada perusahaan yang lain melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh secara tertulis. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis,”urai Hasbi.
Pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan dihapus didalam RUU Cipta Kerja. Padahal kata dia, klausul ini mencantumkan sanksi bagi para pengusaha yang melanggar ketentuan upah minimum.
Lalu perubahan pada Pasal 151 UU Ketenagakerjaan juga akan menghilangkan peran serikat buruh dalam melakukan negosiasi pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan pihak perusahaan.
Lebih lanjut dirinya menjelaskan, terdapat juga pasal bermasalah yang mengatur soal lingkungan hidup. Ia menyebutkan dalam Pasal 88 pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dapat menjerat pelaku pembakar hutan dan lahan (karhutla) tetapi pemerintah menghapusnya di RUU Cipta Kerja.
Bunyi pasal 88 UU PPLH adalah, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Selain itu di Pasal 93. Pemerintah dikritik karena ada upaya penghapusan partisipasi publik. Pasal 93 ayat (1) menyatakan “Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara.”
“Namun, pada RUU Cilaka hanya ditulis, “Pasal 93 Dihapus.”herannya.
Ada lagi Pasal Bermasalah Tentang Pers di RUU Cipta Kerja
Perubahan juga terjadi pada pasal 18 UU pers. Point pertama yang mereka tekankan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
Berubah menjadi, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2 milliar.
Poin kedua, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500 juta, berubah menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp2 milliar.
Kemudian, point ketiga perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100 juta, berubah menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.
Pasal Bermasalah Tentang Pendidikan di RUU Cipta Kerja
Pasal 51 ayat (1)
Pengelolaan satuan pendidikan formal dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 62 ayat (1)
Syarat untuk memperoleh Perizinan Berusaha meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.
Pasal 65
(1) Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 71
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000.
Atas dasar itu Dewan Pembina IKBM Kaubun Yohanes Richardo Nanga Wara menilai bahwa dalam isian UU Cipta Kerja tersebut sama sekali tidak menjadi urgensi bagi kepentingan rakyat juga tidak menjawab masalah yang dirasakan oleh kaum buruh.
Dalam hal ini, UU Cipta Kerja tidak lagi menjawab masalah yang dihadapi oleh buruh, tidak memberikan solusi dan melindungi buruh tapi membawa bencana bagi buruh.
“Hak buruh kedepan akan terancam tidak dilindungi sebab negara menghamba kepada pemilik modal, oligarki atau perusahaan.Hak buruh yang berkaitan dengan jaminan masa kerja, pesangon, upah ini telah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, ini pun belum konsisten dijalankan oleh pemerintah kita,”jelasnya.
Richardo yang juga saat ini sebagai kader GMNI Samarinda mengatakan bahwa dalam situasi krisis ekonomi buruh hanya dijadikan tumbal dimasa krisis, padahal rezim ini menginginkan pembangunan ekonomi tapi satu sisi mengkebiri buruh sebagai penggerak roda perekonomian.
“Inilah yang menjadi bukti bahwa DPR RI sama sekali tidak menyelamatkan buruh dari situasi krisis,”sebutnya.
(Fran)