Mengurai Fenomena ‘Gunug Es’ Kekerasan Seksual di Kaltim

SAMARINDA- Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur mengadakan diskusi publik pada Minggu pagi (17/11/2024) di ruang rapat lantai 2 kantor DKP3A. Acara ini mengangkat tema “Peran Masyarakat Kalimantan Timur dalam Melawan Kekerasan Seksual” dengan tujuan membangun sinergi antara berbagai pihak untuk memberantas kekerasan seksual di daerah.

Diskusi dimulai dengan pengantar dari moderator, Dahlia, yang menekankan pentingnya melibatkan semua pihak dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. “Fenomena kekerasan seksual adalah fenomena gunung es. Samarinda menjadi kota dengan angka tertinggi di Kaltim,” ujar Dahlia.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), kasus kekerasan di Kalimantan Timur menunjukkan peningkatan signifikan, dari 623 kasus pada 2019 menjadi 1.108 kasus pada 2023. Pada Februari 2024, tercatat 57 kasus kekerasan di Samarinda, dengan mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak.

Kekerasan seksual menjadi bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi, dengan 83 korban tercatat pada periode tersebut. Kasus kekerasan fisik dan psikologis masing-masing mencatatkan 66 dan 33 korban.

Kasubbag TU UPTD Perlindungan Perempuan Anak (PPA) Kaltim, Rita Asfianie, menekankan perlunya pendekatan komprehensif. “Pencegahan harus dilakukan melalui sosialisasi, penanganan kasus, dan pendekatan empatik terhadap korban. Kesadaran untuk berani berbicara adalah langkah pertama dalam melawan fenomena ini,” kata Rita.

Senada dengan itu, Direktur LBH APIK Kaltim, Kasmawati, menyoroti kendala dalam implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Menurutnya, proses hukum yang berbelit sering menjadi hambatan utama.

Dalam dunia pendidikan, Nuraqmi Fidyawati Romadhona dari Rumah Perempuan dan Anak Kaltim menyoroti isu child grooming yang banyak terjadi. “Relasi kuasa antara guru dan murid, bahkan antar murid, membuka peluang terjadinya kekerasan seksual. Edukasi sejak dini menjadi langkah penting untuk pencegahan,” tegasnya.

Diskusi publik ini menghasilkan seruan untuk meningkatkan peran masyarakat dalam menciptakan ruang aman bagi semua kalangan, baik di ruang privat maupun publik. Puan Mahakam, salah satu inisiator acara, berharap sinergi yang terjalin dapat menurunkan angka kekerasan seksual secara bertahap hingga mendekati nol.

“Persoalan kekerasan seksual adalah pelanggaran hak asasi manusia. Pencegahan harus digaungkan di semua generasi karena ini dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja,” ungkapnya.

Melalui diskusi ini, DKP3A bersama berbagai organisasi dan lembaga perlindungan perempuan dan anak berkomitmen untuk terus memperjuangkan hak-hak korban dan mendorong langkah konkret demi memberantas kekerasan seksual di Kalimantan Timur.

(*)