Menyalahi SNI, 16 Merek Beras di Kaltim Ini Cacat Mutu

Potret 9 beras premium yang tidak sesuai SNI, hanya merek Runah Tulip yang sesuai. (Foto: Lisa/ beri.id)

BERI.ID – Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM (DPPKUM) Kalimantan Timur, Heni Purwaningsih ungkap kualitas pangan yang beredar di pasaran, dimana dari 10 merek beras premium yang diuji, hanya satu merek yang memenuhi seluruh parameter Standar Nasional Indonesia (SNI) 6128:2020, yaitu merek Rumah Tulip.

Sisanya, sembilan merek dinyatakan cacat mutu dan bahkan terindikasi kuat sebagai produk oplosan, diantaranya Tiga Mangga Manalagi, Rahma Kuning, Belekok, Siip, Sania, Kura-Kura, Ketupat Manalagi, Rojo Lele, Mawar Melati.

Diketahui, sebanyak 17 sampel telah diuji oleh UPTD Balai Pengujian Sertifikasi Mutu Barang (BPSMB) Kaltim, terdiri dari 7 sampel dari pasar di Samarinda dan 10 sampel dari Balikpapan.

Sementara 4 sampel lainnya diuji oleh Dinas Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Kaltim.

Sebelumnya juga telah diumumkan, tujuh beras yang tidak sesuai SNI, yakni merek Bondy, Ikan Sembilan, Putri Koki, Sedap Wangi, Berlian Batu Mulia, Raja Lele dan 35 Rahma.

Dengan ini, terdapat total 16 beras cacat mutu yang beredar di Benua Etam.

“Kami meyakini merek-merek ini beredar di seluruh Kabupaten/Kota di Kaltim,” ungkap Heni Purwaningsih, dalam konferensi pers, di Ruang Rapat Keminting Lantai 4, Kantor DPPKUM Kaltim, Kamis (7/8/2025).

Temuan Berulang, Oplosan Kian Terstruktur?

Temuan ini bukan kali pertama. Dalam pengawasan sebelumnya, beberapa merek yang sama juga menunjukkan ketidaksesuaian mutu.

Fakta bahwa produk-produk ini kembali lolos ke pasaran, menurut Heni, menandakan adanya sistem yang sengaja mempertahankan manipulasi kualitas beras, bukan semata keteledoran.

“Kita menduga kuat ada praktik sistematis dalam pemalsuan mutu beras. Beras kualitas rendah dipoles dengan kemasan premium, lalu dilempar ke pasaran dengan harga tinggi,” tegas Heni.

Penentuan mutu beras premium hingga medium 2 didasarkan pada 14 parameter, seperti aroma (bau apak/asam), kandungan dedak dan bahan kimia berbahaya, kadar air, tingkat penyosohan, serta kondisi fisik butir seperti patah, kuning, kapur, gabah, dan benda asing.

Contoh, beras merek Tiga Mangga Manalagi mengandung butir kuning rusak sebesar 1,3 persen, jauh di atas ambang batas maksimal SNI sebesar 0,5 persen.

Rojo Lele tercatat bermasalah dalam empat parameter sekaligus, yakni butir kepala, butir patah, menir, butir kapur, termasuk Sania, yang dikenal sebagai merek nasional, justru juga gagal pada empat parameter mutu sekaligus, butir kepala, butir patah, menir, dan butir kuning.

Dugaan Pelanggaran Perlindungan Konsumen

Ditekankan Heni, temuan ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, karena secara langsung menyesatkan publik dengan informasi yang tidak sesuai kenyataan.

“Konsumen membeli beras premium dengan asumsi mutu tinggi. Tapi kenyataannya, yang mereka makan bisa jadi beras kualitas rendah dengan kemasan mewah. Ini penyesatan publik,” ucapnya.

Sebagai tindak lanjut, DPPKUKM Kaltim akan menerbitkan surat peringatan resmi, kepada 16 distributor yang diduga bertanggung jawab atas peredaran beras bermutu rendah.

Sanksi administratif bisa berupa penarikan produk, pembekuan izin distribusi, hingga pencabutan izin edar.

Satgas Pangan Kepolisian Daerah (Polda) Kaltim, Sainal Bintang yang turut hadir dalam konferensi menyatakan bahwa tindak lanjut atas temuan tersebut masih akan dibahas secara mendalam bersama instansi terkait, untuk memastikan kejelasan arah penanganan dan mencegah simpang siur informasi di masyarakat.

“Kami akan rapatkan bersama pihak-pihak terkait untuk menindaklanjuti temuan ini. Segala kemungkinan akan kami dalami kembali sebelum mengambil langkah selanjutnya,” bebernya.

Dilema Penarikan Produk: Risiko Kelangkaan vs Keamanan Konsumen

Meski kualitas mayoritas beras premium dipertanyakan, Pemprov Kaltim belum mengambil keputusan untuk menarik produk dari pasaran.

Alasannya, penarikan massal bisa menimbulkan disrupsi pasokan dan kelangkaan, terutama karena sebagian besar beras di Kaltim berasal dari luar daerah.

“Kami harus sangat hati-hati. Penarikan memang ideal, tapi risikonya adalah lonjakan harga dan kelangkaan beras di pasar,” kata Heni.

Saat ini, langkah yang dilakukan adalah memblokir distribusi produk bermasalah untuk pengiriman selanjutnya, sembari menunggu kebijakan dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian.

Ketergantungan pada Pemasok Luar dan Minimnya Produksi Lokal

DPPKUKM mencatat bahwa sebagian besar beras premium di Kaltim berasal dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, baik dalam bentuk kemasan langsung maupun dalam bentuk curah yang dikemas ulang di Kaltim.

Produksi beras lokal masih belum bisa mencukupi permintaan, apalagi memenuhi standar mutu premium.

“Kita sangat bergantung pada provinsi lain. Inilah mengapa distribusi harus kita awasi ketat. Kalau tidak, masyarakat Kaltim akan terus jadi korban kualitas buruk,” kata Heni.

Sementara itu, harga beras premium di sejumlah pasar Samarinda dan Balikpapan masih melambung di kisaran Rp17.000 hingga Rp18.000 per kilogram.

Meski pemerintah telah menggelontorkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dari Bulog untuk menekan harga, penyebarannya dinilai belum merata.

“Subsidi tidak selalu tepat sasaran. Di beberapa pasar rakyat, beras SPHP cepat habis atau tidak tersedia, sementara beras premium justru dikuasai distributor besar dengan mutu yang ternyata diragukan,” tutup Heni. (lis)